Memahami Gagasan Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta
Saya tidak bisa mengingat secara pasti kapan pertama kali benar-benar memahami gagasan ekonomi Mohammad Hatta. Mungkin saat duduk di bangku kuliah atau sedang mencari bahan untuk diskusi organisasi. Yang jelas, nama Hatta sudah sangat familiar sejak masa sekolah dasar. Ia adalah bapak proklamator, bapak koperasi, dan wajah yang terpampang di uang kertas seratus ribu rupiah. Namun, semua itu hanya sebatas pengetahuan permukaan.
Bertahun-tahun kemudian, saya membaca beberapa tulisan Hatta dan baru menyadari bahwa di balik sosok tenang dan berkacamata itu, tersimpan gagasan besar yang terasa makin relevan, yaitu ekonomi kerakyatan. Baginya, ekonomi bukan sekadar teori dalam buku teks, melainkan filosofi hidup yang menjadi peta jalan pembangunan di tengah pasar bebas.
Hatta memandang ekonomi sebagai alat untuk memastikan setiap orang mendapat bagian yang adil dari kue pembangunan. Ia bukan tipe pemimpin yang bicara dari menara gading. Ia menulis, berdebat, dan mengambil keputusan dengan membayangkan wajah petani di sawah, nelayan di tepi pantai, atau pedagang di pasar. Baginya, rakyat kecil harus menjadi subjek pembangunan, bukan objek yang hanya menunggu belas kasihan.
Koperasi sebagai Inti Pemikiran Hatta
Prinsip ekonomi kerakyatan yang ia pegang menemukan bentuk nyatanya dalam kelembagaan yang ia percayai: koperasi. Bagi Hatta, koperasi adalah jantung dari seluruh sistem ekonomi rakyat. Secara teoritis, koperasi berperan sebagai alat redistribusi kekayaan yang lebih adil dan sebagai penangkal dominasi kapitalisme monopoli.
Dalam idealisme Bung Hatta, koperasi adalah wadah untuk mendidik manusia menjadi mandiri, demokratis, dan saling menolong. Prinsip “satu anggota, satu suara” menegaskan esensi demokrasi ekonomi di dalamnya. Koperasi bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi ruang bagi anggotanya untuk saling menguatkan. Hatta membayangkan rakyat dengan berkelompok dan bergotong royong, mampu menantang dominasi kapitalisme.
Bagi Hatta, koperasi adalah benteng pertahanan ekonomi rakyat yang mandiri dan berdaulat. Gagasan ini seperti peta jalan menuju kemandirian ekonomi rakyat. Desa-desa mandiri, kota-kota yang warganya saling menopang, dan perekonomian yang tidak mudah goyah oleh guncangan pasar global.
Peran Negara dalam Sistem Ekonomi
Tentu Hatta bukan utopis yang berpikir rakyat bisa dibiarkan berjalan sendiri. Ia tahu negara punya peran penting dalam perekonomian. Negara, menurutnya, harus menjadi pengatur dan pelindung: memberi ruang bagi koperasi dan usaha kecil untuk tumbuh, memastikan kekayaan tidak hanya berputar di lingkaran elite, dan mengelola sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Inilah ruh dari Pasal 33 UUD 1945, sebuah pasal yang hari ini sering kita dengar, tapi entah masih kita hayati atau tidak. Pasal ini adalah perwujudan nyata dari pemikiran Hatta tentang bagaimana ekonomi seharusnya diatur untuk kepentingan rakyat.
Tantangan dan Masa Depan Ekonomi Kerakyatan
Globalisasi datang seperti tamu terhormat, membawa hadiah kemakmuran, tetapi diam-diam menebar benih kesenjangan. Di tengah arus ini, ekonomi kerakyatan melalui koperasi menghadapi tantangan ganda: dari tekanan pasar bebas dan kendala internal yang melemahkan daya saing.
Meskipun kontribusi koperasi terhadap PDB nasional mengalami kenaikan, hambatan struktural membuat perannya belum optimal. Situasi ini justru menegaskan perlunya kembali menengok gagasan awal Hatta, untuk menguji: apakah prinsip-prinsip yang ia rancang puluhan tahun lalu masih menjadi jawaban bagi persoalan ekonomi rakyat hari ini.
Relevansi Pemikiran Hatta di Era Modern
Hatta paham bahwa membangun ekonomi rakyat membutuhkan keuletan dan kesabaran. Ia bukan tipe pemimpin yang terbuai oleh ilusi pertumbuhan ekonomi: megah secara statistik, namun rapuh secara substansi. Kehati-hatian ini lahir dari kesadarannya bahwa angka tak selalu mencerminkan kesejahteraan nyata.
Kehati-hatian itu bukan tanpa alasan. Hatta bicara tentang pondasi ekonomi yang kokoh, tentang sistem yang membuat rakyat punya daya tawar, tentang gotong royong yang menjadi napas ekonomi. Kadang saya bertanya-tanya, jika Hatta masih hidup, apa yang akan ia katakan ketika melihat kebijakan ekonomi Indonesia hari ini?
Mungkin ia akan tersenyum tipis, lalu bertanya dengan nada pelan tapi menusuk: “Apakah ekonomi ini benar-benar untuk rakyat?” Dan pertanyaan itu, saya kira, cukup untuk membuat kita menoleh, memeriksa kembali arah, dan bertanya pada diri sendiri, “apakah kita masih berjalan di jalan yang ia tunjukkan, atau sudah terlalu jauh melangkah ke hutan belantara ekonomi liberal?”
Warisan Hatta sebagai Kompas Moral
Warisan Hatta bukan sekadar teori di perpustakaan. Ia adalah kompas moral. Kompas tidak memaksa orang berjalan, tetapi menunjukkan arah. Tinggal bagaimana kita mau atau tidak mengikuti jalan yang ditunjukkan. Dan seperti kompas, pemikiran Hatta tetap berguna meski peta dunia sudah banyak berubah.
Namun kompas itu tidak kehilangan arah meski zaman telah berubah. Justru, di tengah tantangan ketimpangan yang kian menganga, pemikiran ekonomi kerakyatan Hatta tetap relevan dalam konteks Indonesia modern, terutama dalam menghadapi isu ketimpangan sosial dan ekonomi. Gagasan Hatta, dengan penekanan pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi, dapat menjadi inspirasi dalam mencari solusi terhadap masalah ini.
Kembali ke Jalan yang Benar
Hatta mengingatkan bahwa kekuatan ekonomi sejati sebuah bangsa terletak pada rakyatnya. Ia ingin pembangunan yang membuat desa-desa hidup, pasar rakyat ramai, dan anak-anak tumbuh tanpa takut masa depannya suram. Bukan pembangunan yang hanya memperindah laporan, tapi menyentuh kehidupan nyata masyarakat.
Untuk sampai ke sana, diperlukan komitmen politik yang kuat. Para pemimpin kita harus berani memilih jalan yang mungkin jauh lebih lambat tapi lebih kokoh. Pendidikan tentang nilai koperasi harus masuk sejak dini, bukan sekadar hafalan, tapi harus dipraktikkan. Anak-anak harus belajar bahwa ekonomi yang sehat bukan tentang siapa yang paling kaya, tetapi siapa yang bisa membuat semua orang hidup layak.
Masa depan ekonomi Indonesia akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kita berani kembali ke jalan yang digariskan oleh Hatta. Jalan itu mungkin tidak populer di tengah gegap gempita pasar bebas, tapi ia adalah jalan yang berakar pada keadilan, gotong royong, dan kedaulatan rakyat. Dan seperti perahu kayu yang dibuat dengan telaten, jalannya mungkin tidak melaju sekencang kapal mesin, tapi ia mampu membawa semua penumpangnya sampai tujuan dengan selamat.