Bengkel Sekolah SMK, Menggerakkan Ekonomi Bangsa

Kehidupan di SMK Plus Al Ghifari: Tempat Mereka Belajar Menjadi Teknisi Andal

Pada Selasa, 5 Agustus 2025, suasana di SMK Plus Al Ghifari terasa penuh semangat dengan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para siswa. Saya sempat berkunjung ke sekolah yang berlokasi di Jalan Inspeksi Pengairan No. 23 Cisaranten Kulon, Arcamanik, Kota Bandung. Di salah satu sudut sekolah, tepatnya di bengkel (Balai Latihan Kerja Al Ghifari), terdapat pemandangan menarik yang menarik perhatian.

Tiga orang siswa dari jurusan Teknik dan Bisnis Sepeda Motor (TBSM) sedang fokus mengerjakan sesuatu. Mereka tidak sendirian; seorang guru, Pak Puji, S.T., tampak mendampingi mereka dengan sabar. Ketiga siswa itu sangat fokus, dengan sebuah sepeda motor yang mati mendadak di hadapan mereka. Motor tersebut ternyata milik salah satu staf di Al Ghifari, yang menjadi kesempatan emas bagi para siswa untuk mempraktikkan ilmu yang mereka dapatkan di kelas.

Praktik Langsung, Bukan Sekadar Teori

Mereka tidak hanya belajar teori, tetapi langsung berhadapan dengan masalah nyata. Setiap siswa memegang perkakasnya, memeriksa setiap bagian motor, mulai dari mesin hingga sistem kelistrikan. Semangat dan ketekunan yang luar biasa terlihat dari mereka. Meskipun motor itu mati total, tidak ada raut wajah menyerah. Justru, mereka antusias dan aktif dalam diskusi serta bertanya kepada Pak Puji.

Bimbingan guru di sini bukan sekadar instruksi, melainkan proses kolaborasi. Mereka sama-sama mencari akar masalah mengapa motor itu tidak bisa menyala. Ini adalah contoh bagaimana pendidikan vokasi di SMK Plus Al Ghifari berhasil menghubungkan teori dan praktik.

Pendidikan Vokasi yang Relevan

Program keahlian Teknik dan Bisnis Sepeda Motor (TBSM) tidak hanya mengajarkan materi di dalam kelas. Mereka memaksa siswa untuk terjun langsung, merasakan tantangan nyata. Apa yang mereka baca di buku, kini mereka praktikkan secara langsung dengan alat-alat bengkel. Mereka belajar bagaimana cara mendiagnosis masalah, mengganti suku cadang, dan melakukan perawatan yang benar.

Dalam kasus motor yang mati mendadak, para siswa harus menggunakan logika dan pengetahuan mereka. Mereka tidak bisa menebak-nebak. Dengan bimbingan Pak Puji, mereka mengecek satu per satu komponen. Mulai dari busi, karburator atau semisal, hingga sistem pengapian. Proses ini melatih mereka untuk berpikir sistematis, tidak panik, dan teliti.

Melatih Mental dan Keberanian

Praktik ini juga melatih mental mereka. Kadang, sebuah masalah tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Ada tantangan, ada kegagalan, dan ada proses mencoba-coba. Saat motor tidak kunjung menyala, rasa frustrasi pasti ada. Namun, di bawah bimbingan guru yang suportif, mereka belajar untuk tidak menyerah.

Mereka diajarkan bahwa setiap masalah pasti ada solusinya, asalkan kita mau berusaha dan berpikir keras. Pendidikan seperti ini sangat dibutuhkan di Indonesia. Lulusan SMK tidak hanya memiliki ijazah, tapi juga keahlian yang nyata. Ketika mereka lulus, mereka tidak akan bingung mencari pekerjaan. Mereka sudah punya bekal yang cukup.

Masa Depan di Tangan Mereka

Satu setengah jam berlalu. Ketiga siswa itu masih terus berupaya. Tangan mereka semakin kotor, tapi semangat mereka tidak luntur. Pak Puji, sang guru, hanya mengawasi sambil sesekali memberikan arahan singkat. Ia percaya pada kemampuan siswa-siswanya. Ia tahu, dengan bimbingan yang tepat, mereka pasti bisa menyelesaikan masalah ini.

Akhirnya, momen yang dinanti tiba. Salah satu siswa mencoba menyalakan motor dengan menekan tombol starter. Terdengar suara mesin yang berputar, lalu motor itu hidup kembali. Suara mesin itu bukan sekadar suara motor, tapi juga suara kemenangan. Wajah ketiga siswa itu langsung berseri-seri. Mereka saling tos, menunjukkan rasa bangga dan puas.

Keberhasilan ini bukan hanya keberhasilan pribadi. Ini adalah bukti bahwa pendidikan vokasi berjalan dengan baik. Para siswa ini tidak hanya memperbaiki satu motor, tapi juga memperbaiki keyakinan mereka pada diri sendiri. Mereka sadar bahwa dengan bekal yang mereka punya, mereka bisa mengatasi masalah apa pun.

Harapan untuk Generasi Muda

Keberhasilan ini menjadi modal berharga bagi mereka untuk menghadapi tantangan di dunia nyata. Mereka adalah calon-calon teknisi, wirausahawan, dan pekerja andal di masa depan. Kelak, mereka tidak hanya memperbaiki motor milik staf, tetapi juga motor-motor pelanggan di bengkel mereka sendiri. Mereka akan membuka lapangan kerja, menggerakkan ekonomi kecil, dan berkontribusi pada kemajuan bangsa.

Dari bengkel sekolah yang sederhana, mimpi besar itu mulai dirajut. Cerita tiga siswa SMK Plus Al Ghifari yang berhasil memperbaiki sepeda motor mati adalah bukti nyata pentingnya pendidikan vokasi. Lebih dari sekadar pelajaran di buku, praktik langsung di bengkel melatih mereka untuk menjadi individu yang terampil, teliti, dan tidak mudah menyerah.

Keberhasilan mereka “menghidupkan” kembali motor adalah simbol dari kemampuan mereka untuk “menghidupkan” masa depan mereka sendiri dan, secara lebih luas, menghidupkan kembali roda ekonomi bangsa. Melalui tangan-tangan terampil mereka, kita melihat harapan besar untuk generasi muda yang siap menghadapi dunia kerja dengan keahlian yang nyata.

Hatta dan Jalannya Ekonomi Rakyat

Memahami Gagasan Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta

Saya tidak bisa mengingat secara pasti kapan pertama kali benar-benar memahami gagasan ekonomi Mohammad Hatta. Mungkin saat duduk di bangku kuliah atau sedang mencari bahan untuk diskusi organisasi. Yang jelas, nama Hatta sudah sangat familiar sejak masa sekolah dasar. Ia adalah bapak proklamator, bapak koperasi, dan wajah yang terpampang di uang kertas seratus ribu rupiah. Namun, semua itu hanya sebatas pengetahuan permukaan.

Bertahun-tahun kemudian, saya membaca beberapa tulisan Hatta dan baru menyadari bahwa di balik sosok tenang dan berkacamata itu, tersimpan gagasan besar yang terasa makin relevan, yaitu ekonomi kerakyatan. Baginya, ekonomi bukan sekadar teori dalam buku teks, melainkan filosofi hidup yang menjadi peta jalan pembangunan di tengah pasar bebas.

Hatta memandang ekonomi sebagai alat untuk memastikan setiap orang mendapat bagian yang adil dari kue pembangunan. Ia bukan tipe pemimpin yang bicara dari menara gading. Ia menulis, berdebat, dan mengambil keputusan dengan membayangkan wajah petani di sawah, nelayan di tepi pantai, atau pedagang di pasar. Baginya, rakyat kecil harus menjadi subjek pembangunan, bukan objek yang hanya menunggu belas kasihan.

Koperasi sebagai Inti Pemikiran Hatta

Prinsip ekonomi kerakyatan yang ia pegang menemukan bentuk nyatanya dalam kelembagaan yang ia percayai: koperasi. Bagi Hatta, koperasi adalah jantung dari seluruh sistem ekonomi rakyat. Secara teoritis, koperasi berperan sebagai alat redistribusi kekayaan yang lebih adil dan sebagai penangkal dominasi kapitalisme monopoli.

Dalam idealisme Bung Hatta, koperasi adalah wadah untuk mendidik manusia menjadi mandiri, demokratis, dan saling menolong. Prinsip “satu anggota, satu suara” menegaskan esensi demokrasi ekonomi di dalamnya. Koperasi bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi ruang bagi anggotanya untuk saling menguatkan. Hatta membayangkan rakyat dengan berkelompok dan bergotong royong, mampu menantang dominasi kapitalisme.

Bagi Hatta, koperasi adalah benteng pertahanan ekonomi rakyat yang mandiri dan berdaulat. Gagasan ini seperti peta jalan menuju kemandirian ekonomi rakyat. Desa-desa mandiri, kota-kota yang warganya saling menopang, dan perekonomian yang tidak mudah goyah oleh guncangan pasar global.

Peran Negara dalam Sistem Ekonomi

Tentu Hatta bukan utopis yang berpikir rakyat bisa dibiarkan berjalan sendiri. Ia tahu negara punya peran penting dalam perekonomian. Negara, menurutnya, harus menjadi pengatur dan pelindung: memberi ruang bagi koperasi dan usaha kecil untuk tumbuh, memastikan kekayaan tidak hanya berputar di lingkaran elite, dan mengelola sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Inilah ruh dari Pasal 33 UUD 1945, sebuah pasal yang hari ini sering kita dengar, tapi entah masih kita hayati atau tidak. Pasal ini adalah perwujudan nyata dari pemikiran Hatta tentang bagaimana ekonomi seharusnya diatur untuk kepentingan rakyat.

Tantangan dan Masa Depan Ekonomi Kerakyatan

Globalisasi datang seperti tamu terhormat, membawa hadiah kemakmuran, tetapi diam-diam menebar benih kesenjangan. Di tengah arus ini, ekonomi kerakyatan melalui koperasi menghadapi tantangan ganda: dari tekanan pasar bebas dan kendala internal yang melemahkan daya saing.

Meskipun kontribusi koperasi terhadap PDB nasional mengalami kenaikan, hambatan struktural membuat perannya belum optimal. Situasi ini justru menegaskan perlunya kembali menengok gagasan awal Hatta, untuk menguji: apakah prinsip-prinsip yang ia rancang puluhan tahun lalu masih menjadi jawaban bagi persoalan ekonomi rakyat hari ini.

Relevansi Pemikiran Hatta di Era Modern

Hatta paham bahwa membangun ekonomi rakyat membutuhkan keuletan dan kesabaran. Ia bukan tipe pemimpin yang terbuai oleh ilusi pertumbuhan ekonomi: megah secara statistik, namun rapuh secara substansi. Kehati-hatian ini lahir dari kesadarannya bahwa angka tak selalu mencerminkan kesejahteraan nyata.

Kehati-hatian itu bukan tanpa alasan. Hatta bicara tentang pondasi ekonomi yang kokoh, tentang sistem yang membuat rakyat punya daya tawar, tentang gotong royong yang menjadi napas ekonomi. Kadang saya bertanya-tanya, jika Hatta masih hidup, apa yang akan ia katakan ketika melihat kebijakan ekonomi Indonesia hari ini?

Mungkin ia akan tersenyum tipis, lalu bertanya dengan nada pelan tapi menusuk: “Apakah ekonomi ini benar-benar untuk rakyat?” Dan pertanyaan itu, saya kira, cukup untuk membuat kita menoleh, memeriksa kembali arah, dan bertanya pada diri sendiri, “apakah kita masih berjalan di jalan yang ia tunjukkan, atau sudah terlalu jauh melangkah ke hutan belantara ekonomi liberal?”

Warisan Hatta sebagai Kompas Moral

Warisan Hatta bukan sekadar teori di perpustakaan. Ia adalah kompas moral. Kompas tidak memaksa orang berjalan, tetapi menunjukkan arah. Tinggal bagaimana kita mau atau tidak mengikuti jalan yang ditunjukkan. Dan seperti kompas, pemikiran Hatta tetap berguna meski peta dunia sudah banyak berubah.

Namun kompas itu tidak kehilangan arah meski zaman telah berubah. Justru, di tengah tantangan ketimpangan yang kian menganga, pemikiran ekonomi kerakyatan Hatta tetap relevan dalam konteks Indonesia modern, terutama dalam menghadapi isu ketimpangan sosial dan ekonomi. Gagasan Hatta, dengan penekanan pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi, dapat menjadi inspirasi dalam mencari solusi terhadap masalah ini.

Kembali ke Jalan yang Benar

Hatta mengingatkan bahwa kekuatan ekonomi sejati sebuah bangsa terletak pada rakyatnya. Ia ingin pembangunan yang membuat desa-desa hidup, pasar rakyat ramai, dan anak-anak tumbuh tanpa takut masa depannya suram. Bukan pembangunan yang hanya memperindah laporan, tapi menyentuh kehidupan nyata masyarakat.

Untuk sampai ke sana, diperlukan komitmen politik yang kuat. Para pemimpin kita harus berani memilih jalan yang mungkin jauh lebih lambat tapi lebih kokoh. Pendidikan tentang nilai koperasi harus masuk sejak dini, bukan sekadar hafalan, tapi harus dipraktikkan. Anak-anak harus belajar bahwa ekonomi yang sehat bukan tentang siapa yang paling kaya, tetapi siapa yang bisa membuat semua orang hidup layak.

Masa depan ekonomi Indonesia akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kita berani kembali ke jalan yang digariskan oleh Hatta. Jalan itu mungkin tidak populer di tengah gegap gempita pasar bebas, tapi ia adalah jalan yang berakar pada keadilan, gotong royong, dan kedaulatan rakyat. Dan seperti perahu kayu yang dibuat dengan telaten, jalannya mungkin tidak melaju sekencang kapal mesin, tapi ia mampu membawa semua penumpangnya sampai tujuan dengan selamat.