Kreator Musik Kecil dan Tantangan Hidup di Atas Kebijakan Royalti

Kehidupan Kreator Musik Digital di Tengah Regulasi yang Membingungkan

Malam itu, seorang penyanyi muda duduk di kamar kosnya. Hanya ditemani gitar akustik dan lampu meja kecil, ia memulai siaran langsung di TikTok. Penontonnya tidak banyak, hanya sekitar 20 orang tapi setia mengirim gift virtual. Sebagian penonton meminta lagu-lagu populer untuk dinyanyikan. Ia menuruti, bukan demi melanggar hukum, tapi karena itu yang membuat audiensnya bertahan. Bagi banyak orang seperti dia, live streaming adalah sumber penghasilan utama.

Gift yang terkumpul setiap malam cukup untuk membayar kos, makan, dan biaya hidup harian. Ia bukan artis besar, bukan pencipta lagu, bahkan belum merilis karya orisinal. Tapi ia bekerja menghibur orang, membangun komunitas, dan meniti mimpi di industri musik. Lalu muncul penerapan aturan bahwa semua penggunaan lagu, termasuk di live streaming, bisa dikenai royalti. Bahkan di Indonesia, sudah ada kreator yang dikenai sanksi dan denda karena membawakan lagu populer tanpa izin di platform digital. Pertanyaannya: kalau semua kena royalti, kreator musik kecil mau hidup dari apa?

Era Baru Musisi Digital

Ya, kita bisa menyebut ini adalah era baru musisi digital. Fenomena musisi digital di TikTok, Instagram, dan YouTube bukan lagi tren sementara. Platform ini melahirkan gelombang baru penyanyi, gitaris, bahkan band rumahan yang menjangkau audiens lebih luas dari panggung konvensional. Bedanya, mereka memulai dari nol, tanpa label besar, tanpa kontrak manajemen. Mereka memanfaatkan fitur live streaming untuk membangun basis penggemar dan mendapatkan penghasilan langsung, biasanya lewat gift virtual atau donasi.

Banyak dari mereka adalah wedding singer yang kehilangan panggung saat pandemi, musisi kafe yang mencoba memperluas audiens, penyanyi kampung yang kini bisa menghibur orang dari Sabang sampai Merauke tanpa harus keluar rumah. Bagi mereka, membawakan lagu populer adalah cara paling efektif menarik penonton. Lagu yang familiar membuat audiens betah dan berinteraksi.

Regulasi yang Kaku

Bergulirnya kasus ini juga menandakan regulasi yang kaku. Di Indonesia, perlindungan hak cipta diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 dan diperkuat dengan PP Nomor 56 Tahun 2021. Intinya, setiap penggunaan musik secara komersial wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta, melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Memang aturan ini lahir untuk melindungi hak pencipta lagu, dan itu sah. Masalahnya, regulasi ini sejak awal lebih banyak disusun untuk dunia fisik—seperti kafe, restoran, hotel, pusat perbelanjaan, atau event besar yang jelas-jelas memanfaatkan musik sebagai daya tarik usaha dan menghasilkan keuntungan langsung. Sementara di dunia digital seperti live streaming TikTok atau Instagram, karakter industrinya sangat berbeda: tidak ada panggung fisik, penghasilan kreator sering kali kecil dan tidak menentu, interaksi berlangsung spontan, dan skalanya cenderung mikro.

Apakah Beban Royalti Sudah Proporsional?

Jika diinterpretasikan secara kaku, seorang penyanyi rumahan yang live di TikTok sambil membawakan lagu populer demi gift kecil pun bisa dikategorikan sebagai “penggunaan komersial” dan terkena kewajiban bayar royalti. Ada prinsip sederhana dalam kebijakan publik: beban harus proporsional dengan kapasitas (gaya pikul). Dalam peraturan teknis, tarif royalti memang tidak selalu sama. Hotel, kafe, konser, atau bioskop memiliki skema tarif yang berbeda sesuai karakter usahanya, bahkan ada keringanan bagi UMKM.

Namun, ketika model tarif yang dirancang untuk usaha fisik berskala besar diterapkan secara kaku pada penyanyi rumahan di live streaming dengan penonton 50 orang, rasa keadilannya tetap dipertanyakan. Skema yang berlaku di dunia fisik belum tentu relevan untuk ekosistem digital yang skalanya mikro dan penghasilannya tidak menentu.

Dilema Regulasi yang Tidak Jelas

Jika memang sudah dibedakan dalam kebijakan, bagaimana mekanismenya? Siapa yang menentukan batasnya, dan dari mana data penghasilan kreator bisa diverifikasi? Di sinilah dilemanya. Tanpa mekanisme yang jelas, niat melindungi pencipta lagu bisa berubah menjadi beban yang mematikan ekosistem kreator kecil.

Kreator musik kecil biasanya beroperasi dengan modal minim. Mereka mengandalkan peralatan sederhana seperti laptop, HP, mikrofon seadanya. Penghasilan mereka fluktuatif, kadang bahkan tak sampai UMR. Jika beban royalti diberlakukan tanpa membedakan skala usaha, ada risiko besar mereka akan berhenti tampil. Dan jika itu terjadi, kita akan kehilangan lapisan kreator yang selama ini menjadi sumber regenerasi talenta musik di Indonesia.

Kehilangan Ruang Kreatif

Matinya kreator pemula bukan lagi ancaman abstrak, tanda-tandanya sudah terlihat. Setelah berita sanksi royalti ini viral, saya mencoba menelusuri beberapa live TikTok. Benar saja, pembicaraan yang muncul di kolom komentar adalah rasa takut untuk menyanyikan lagu populer. Bahkan ada kreator yang memilih hanya membawakan lagu daerah atau karya lokal yang jarang dikenal, semata-mata untuk menghindari risiko. Kreativitas yang tadinya cair dan bebas berubah menjadi penuh waswas. Padahal, daya tarik utama banyak kreator pemula justru terletak pada keberanian mereka membawakan lagu-lagu yang akrab di telinga publik.

Ancaman Kepada Regenerasi Musik

Banyak musisi besar hari ini berawal dari membawakan lagu orang lain. Cover version adalah “sekolah” bagi musisi mempelajari aransemen, mengasah teknik, membangun kepercayaan diri di depan publik. Jika ruang itu ditutup atau dipersempit dengan biaya yang tak terjangkau, perjalanan kreator menuju panggung yang lebih besar akan terhenti sebelum dimulai.

Lebih mengkhawatirkan lagi, kebijakan ini berpotensi menciptakan jurang yang makin lebar. Pelaku besar seperti label musik, penyelenggara event, atau kafe ternama mungkin tak kesulitan membayar lisensi. Sebaliknya, kreator kecil yang pendapatannya pas-pasan akan terjebak pada pilihan sulit: menghentikan karyanya atau terus berkarya dengan bayang-bayang melanggar aturan. Akibatnya, penegakan hukum menjadi timpang dan cenderung hanya menjerat mereka yang mudah diakses atau viral di media.

Kekhawatiran ini muncul juga karena penegakan hukum cenderung hanya menjangkau mereka yang mudah diakses atau kebetulan viral di media, sementara pelanggaran serupa di tempat lain luput dari perhatian.

11 Lagu Taylor Swift yang Viral di TikTok, Favoritmu?

Taylor Swift dan Lagu-Lagunya yang Viral di TikTok

Taylor Swift menjadi salah satu penyanyi yang sangat populer di TikTok. Banyak lagu-lagunya sering kali muncul sebagai background atau challenge dalam video-video pengguna platform ini. Bahkan, beberapa lagu lama miliknya kembali booming setelah viral di TikTok. Setelah satu lagu viral, lagu-lagu Taylor secara bergantian menjadi trending di TikTok.

Berikut adalah daftar lagu Taylor Swift yang viral di TikTok dan patut kamu ketahui:

1. All To Well

Pernah mengikuti tren curhat “Mbak Taylor” di TikTok? Lagu All To Well menjadi background untuk video challenge tersebut. Lirik seperti “And maybe we got lost in translation” dan “I remember it all too well” sangat ikonis. Lagu ini juga relatable dengan keresahan hidup yang dialami sebagian orang.

2. Snow On The Beach

Lagu ini dibawakan oleh Taylor Swift bersama Lana Del Rey. Suara mereka berpadu apik dan harmonisasi yang keren membuat lagu ini menjadi tren di TikTok. Lirik seperti “Now it’s like snow at the beach” menambah kesan indah dari lagu ini.

3. Anti-Hero

Lagu Anti-Hero memang bikin seseorang introspeksi diri. Lirik seperti “It’s me, hi, I’m the problem, it’s me” mengajak pendengar untuk tidak menyalahkan orang lain, tetapi lebih fokus pada diri sendiri.

4. You’re On Your Own, Kid

Lagu ini cocok bagi siapa saja yang merasa sendirian dan kesepian. Lirik seperti “You’re on your own, kid” menggambarkan perasaan kehilangan dan kesedihan. Lagu ini bisa relate dengan apa yang kamu rasakan.

5. Cruel Summer

Melodi awal lagu ini sangat familiar. Lagu Cruel Summer sering muncul di TikTok dan media sosial lain. Lirik seperti “It’s a cruel summer” mencerminkan perasaan cinta yang penuh tantangan.

6. Daylight

Lagu Daylight mengisahkan pengalaman Taylor dalam hubungan masa lalu. Lirik seperti “Like daylight, like daylight” mengajak pendengar untuk fokus pada hubungan saat ini dan merasa bahagia.

7. Foolish One

Lagu Foolish One sering digunakan sebagai challenge di TikTok. Selain enak didengarkan, lagu ini juga memiliki makna yang bagus. Ia mengingatkan pendengar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama berulang kali.

8. Bejeweled

Lirik “Nice!” menjadi bagian yang mudah diingat. Lagu ini tentang seseorang yang menghargai dirinya sendiri. Judul lagu yang berarti “berhiaskan berlian” sesuai dengan makna liriknya.

9. Dress

Meski sudah dirilis lima tahun lalu, Dress berhasil menjadi viral di TikTok. Lagu ini menggambarkan gejolak cinta seseorang. Dugaan kuat menyebutkan bahwa lagu ini terinspirasi dari mantan Taylor Swift, Joe Alwyn.

10. Slut!

Kalimat terakhir dalam lirik Slut! pasti sudah tidak asing lagi. Lagu ini sering digunakan sebagai background video TikTok, sehingga viral. Lagu ini bercerita tentang seorang wanita yang berdandan untuk cowok yang disukainya, tetapi dipandang negatif oleh banyak orang.

11. 22

Lagu 22 yang dirilis pada 2013 kembali booming di TikTok. Lagu ini bernuansa ceria dengan melodi upbeat. Banyak pengguna TikTok suka menggunakannya sebagai background untuk video-video yang penuh semangat.

Banyak lagu Taylor Swift yang viral di TikTok. Lagu-lagunya tidak hanya enak didengarkan, tetapi juga memiliki makna yang dalam. Apakah kamu pernah ikut tren lagu-lagunya dengan membuat video TikTok juga?