Ketika Musik Membuat Pemilik Kafe Berpikir Keras

Musik di Caf: Tantangan dan Solusi dalam Dunia Industri FnB

Tahun 2010 adalah tahun yang sangat berkesan bagi saya. Di masa itu, saya pertama kali mengenal atmosfer kafe. Tempat tersebut terasa nyaman untuk sekadar menikmati secangkir kopi sambil berbincang dengan teman-teman. Saat itu, saya tidak pernah membayangkan bahwa musik yang diputar di kafe bisa menjadi masalah seperti sekarang ini.

Dulu, suara musik di kafe hanya berupa lagu dengan volume yang rendah. Suara blender atau suara dapur seperti memasak nasi goreng atau membuat susu kocok masih bisa terdengar jelas. Namun, kini musik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari industri F&B, termasuk kafe, restoran, bahkan warung nasi padang atau warteg. Banyak pemilik usaha yang memasang speaker aktif lengkap dengan koneksi Bluetooth. Setiap pemilik kafe tampaknya memiliki kebebasan untuk memilih genre musik sesuka hati, mulai dari jazz lembut hingga koplo yang riuh.

Menikmati kopi, nasi kebuli, atau kentang goreng crispy di kafe sering dilakukan. Alunan musik tertentu bisa memberikan suasana yang lebih menyenangkan saat berkumpul dengan teman. Namun, ada kalanya musik justru menjadi gangguan. Bagi saya, musik harus memberikan manfaat, bukan malah menyiksa pendengarnya. Beberapa kafe memutar lagu DJ Remix dengan bass yang berlebihan, yang justru mengganggu pengunjung yang ingin berbicara santai.

Kafe sejatinya adalah tempat untuk nongkrong, di mana ide-ide baru dan inspirasi bisa muncul melalui obrolan ringan. Pemilik kafe harus bijak dalam memilih musik dan mengatur volumenya. Banyak pengunjung datang untuk curhat atau berdiskusi, jadi jangan sampai musik justru membuat mereka merasa tidak nyaman.

Di sisi lain, keheningan juga bisa menjadi hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Ada yang menyukai suasana sunyi dan alami tanpa adanya suara speaker. Mereka lebih memilih menikmati kafe dengan suara alami lingkungan sekitar.

Regulasi Royalti Musik di Kafe

Musik adalah bahasa universal, tetapi selera musik sangat personal. Dulu, wawasan tentang musik ditentukan oleh media mainstream seperti TV, radio, dan majalah. Kini, setiap orang bisa memutar musik sesuka hati asalkan memiliki kuota internet. Banyak pemilik kafe memanfaatkan ini untuk menciptakan suasana yang lebih hidup.

Namun, ketika isu royalti musik muncul, topik ini menjadi trending, terutama di kalangan musisi dan pemilik usaha F&B. Tarif royalti sebesar Rp120.000 per kursi dalam setahun menjadi polemik. Pertanyaannya, bagaimana jika kafe tidak menyediakan kursi, melainkan lesehan?

Tujuan regulasi ini adalah agar musisi tetap mendapatkan pendapatan yang layak. Namun, penegakan hukum terkait ini masih abu-abu. Saya ragu apakah kafe di desa akan didatangi pihak terkait karena memutar lagu tanpa bayar royalti. Meski begitu, banyak pemilik kafe merasa beban ekonomi semakin berat. Bahkan membayar koneksi Wi-Fi saja sudah menjadi beban, apalagi tambahan royalti.

Beberapa pemilik kafe memilih memutar suara alam, seperti burung atau gemericik air. Ternyata, hal ini juga tidak terlepas dari aturan royalti. Polemik ini seperti debat tanpa akhir antara musisi yang ingin haknya dihargai dan pemilik usaha yang ingin memutar musik tanpa biaya tambahan.

Solusi untuk Tantangan Royalti Musik

Hukum tidak mengenal perasaan, hanya mengenal pelapor, tersangka, dan bukti. Musisi berhak mendapatkan royalti atas kerja kerasnya, termasuk menulis lirik, merekam instrumen, hingga mixing dan mastering. Proses ini bisa memakan waktu hingga 8 jam atau lebih.

Pemilik kafe juga ingin memutar lagu untuk memperkaya suasana. Pengunjung ingin menikmati suasana kafe setelah seharian berada dalam rutinitas. Jadi, bagaimana solusinya?

Salah satu solusi adalah kolaborasi antara musisi dan LMKN (Lembaga Manajemen Kekayaan Intelektual) dengan dinas atau kementerian terkait. Mereka bisa menyosialisasikan lagu-lagu yang wajib bayar royalti, serta menjelaskan hak dan kewajiban serta sanksi bagi pelanggar.

Pemilik kafe harus sadar bahwa aturan tetap aturan. Meskipun ada cara mengakali, seperti memutar musik bebas royalti atau menggunakan AI untuk membuat musik sendiri, mereka tetap harus mematuhi hukum.

Pengunjung juga memiliki hak untuk menikmati suasana kafe tanpa gangguan. Sebelum memesan makanan dan duduk, pastikan Anda tahu kondisi kafe. Apakah musiknya mengganggu atau tidak. Dengan demikian, semua pihak bisa merasa puas dan nyaman.

Musik yang Menghantam Jiwa

Musik yang Membebani

Musik dulunya adalah pengisi suasana, pengundang selera, dan penambah kenikmatan ketika seseorang duduk di sebuah kafe, restoran, atau bar. Tapi kini, banyak tempat usaha memilih untuk mematikan musik mereka. Bukan karena pelanggan tak lagi suka, bukan karena selera berubah. Tapi karena mereka takut ditagih, takut melanggar hukum, dan takut membayar royalti yang tidak mereka pahami.

Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, suasana usaha kuliner jadi berubah. Musik kini bukan lagi gratis seperti udara, tapi dikenakan pungutan hukum. Maka muncullah pertanyaan: benarkah keheningan adalah satu-satunya jalan?

Landasan Hukum: Hak Musisi yang Telah Lama Ada

Undang-Undang Hak Cipta sudah lama hidup di Indonesia. Bahkan jauh sebelum era digital, ketika band-band seperti Koes Plus, Panbers, Godbless, The Mercys, hingga Rollies mengisi udara dengan lagu-lagu legendaris, hak cipta sebenarnya telah menjadi payung perlindungan bagi musisi. Namun, selama berpuluh-puluh tahun, pelaksanaannya seperti tidur panjang. Tak ada tata kelola yang jelas tentang bagaimana royalti dikumpulkan dan dibagikan.

Baru pada tahun 2021, lewat PP No. 56 Tahun 2021, pemerintah menegaskan bahwa musik yang diputar di ruang publik—termasuk tempat usaha—harus dihargai. Royalti wajib dibayarkan kepada pemilik hak cipta. Mekanismenya? Diserahkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Masalah Inti: Ketika Hitungan Tak Masuk Akal

Masalah muncul bukan pada niat, tapi pada pelaksanaan. Contoh paling mencolok adalah kasus Mie Gacoan di Bali, yang ditagih royalti hingga Rp 2,5 miliar. Bagaimana hitungannya? Dihitung jumlah kursi di gerai (misal 100 kursi). Dikalikan dengan tarif tahunan per kursi (misalnya Rp 125.000). Dikalikan dengan jumlah tahun penggunaan musik (anggap 2 tahun). Maka: 100 x 125.000 x 2 = Rp 25 juta.

Namun angka ini bisa berlipat jika terjadi denda atas keterlambatan atau dianggap belum pernah membayar. Ada beberapa cabang yang terkena hitungan kumulatif. Nilai kursi dinilai lebih tinggi berdasarkan lokasi atau klasifikasi usaha. Dan pada akhirnya, angka bisa “membengkak” menjadi miliaran, padahal pemilik usaha merasa tidak pernah diminta membayar sebelumnya. Inilah yang disebut banyak pengusaha sebagai jebakan regulasi.

Pertanyaan yang Tak Terjawab: Musik Siapa, Uang Ke Mana?

Persoalan lain yang lebih pelik adalah bagaimana uang royalti itu dibagikan? LMKN tidak menciptakan lagu. Mereka adalah entitas pemerintah yang mengelola royalti dari publik dan menyalurkannya kepada pemilik hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Ada banyak LMK di Indonesia, masing-masing mewakili komponis, pencipta lirik, hingga produser rekaman.

Namun, sistem distribusinya tidak berdasarkan lagu yang benar-benar diputar di tempat usaha. Karena tidak ada sistem pelaporan otomatis seperti yang digunakan Spotify atau radio, maka LMK menggunakan mekanisme sampling atau pelaporan manual. Misalnya sebuah restoran rutin memutar lagu-lagu Katon Bagaskara dan Ariel Noah. Ketika restoran tidak melaporkan playlist mereka ke LMKN atau LMK, maka tidak ada jaminan Katon atau Ariel akan menerima uang dari tempat tersebut.

Royalti bisa saja masuk ke musisi lain, berdasarkan data nasional, bukan aktual. Maka timbul keraguan di kalangan pelaku usaha: “Saya membayar, tapi siapa yang menerima?”

Kurangnya Sosialisasi dan Transparansi

Banyak pelaku usaha merasa disudutkan oleh aturan yang tidak disosialisasikan secara menyeluruh. Tiba-tiba ada surat tagihan, atau panggilan dari LMKN, tanpa pernah sebelumnya menerima penjelasan apa yang dimaksud dengan kewajiban royalti. Tidak semua pengusaha mengerti bahwa Lagu yang diputar dari YouTube tetap dianggap penggunaan publik; Musik latar dari radio atau TV tetap dihitung sebagai pemanfaatan komersial. Bahkan lagu nasional bisa saja masuk dalam daftar yang wajib royalti jika belum masuk domain publik.

Ada kesan bahwa sistem ini lebih menakut-nakuti daripada mendidik.

Solusi Alternatif: Musik Bebas Royalti

Di tengah kegamangan ini, muncullah solusi: menggunakan musik bebas royalti (royalty-free music) atau musik domain publik. Musik bebas royalti adalah karya musik yang bisa digunakan tanpa perlu membayar royalti tahunan. Tapi itu bukan berarti gratis tanpa aturan. Setiap karya tetap memiliki lisensi yang harus dipatuhi.

Berikut 11 sumber musik bebas royalti yang legal dan aman digunakan di tempat usaha:
* Unminus – Lisensi CC0, bebas pakai, tanpa atribusi
* Free Music Archive (FMA) – Gunakan filter “Commercial Use Allowed”
* FreePD – Dari Kevin MacLeod, legal dan gratis
* Freesound – Efek suara, pastikan lisensi dibaca
* Thematic – Untuk konten kreator, wajib atribusi
* YouTube Audio Library – Pilih lagu yang boleh untuk komersial
* Bensound – Gratis dengan atribusi, atau beli lisensi
* Musopen – Musik klasik domain publik
* Chillhop – Lofi vibes, wajib atribusi
* Mubert – Musik berbasis AI, lisensi komersial
* Pixabay Music – Tanpa atribusi, kualitas profesional

Cara Menggunakan Musik Royalty-Free Secara Legal

Agar aman secara hukum, pelaku usaha perlu memahami cara menggunakan musik bebas royalti dengan benar:
* Pilih lagu dari sumber resmi di atas
* Periksa lisensi tiap lagu – jangan asal putar
* Jika lisensinya butuh atribusi, cantumkan pencipta lagu di tempat usaha (menu, website, atau Instagram)
* Simpan bukti lisensi – screenshot atau tautan file
* Susun playlist sesuai karakter bisnis: santai, klasik, kontemporer, atau anak muda

Dengan demikian, musik tetap hidup, tapi pengusaha tidak takut hukum.

Musik adalah Napas Usaha

Sulit membayangkan restoran Italia tanpa musik klasik di latar. Atau kafe lofi tanpa nuansa santai dari denting gitar atau suara synth. Musik membentuk pengalaman. Namun, regulasi yang membingungkan, sistem yang tidak transparan, serta komunikasi yang minim justru mematikan gairah para pengusaha. Ketimbang dihukum, mereka memilih diam. Padahal diam itu bukan solusi.

Kita membutuhkan sistem yang adil bagi musisi, agar karya mereka dihargai; Yang masuk akal bagi pelaku usaha, agar biaya operasional tak semakin berat; Yang transparan dan mudah diakses, agar semua bisa taat hukum tanpa takut.

Saatnya Menata Ulang

Mewajibkan pembayaran royalti musik adalah langkah maju. Tapi pelaksanaannya harus benar. Jika tidak, kita justru menciptakan ketimpangan baru: para musisi tidak benar-benar mendapatkan bayaran yang layak, sedangkan para pengusaha merasa menjadi korban kebijakan yang tidak transparan.

Penggunaan musik bebas royalti bukanlah pelarian, tapi sebuah pilihan rasional di tengah kebingungan. Musik tetap mengalun, pelanggan tetap betah, bisnis tetap hidup, hukum tetap dijunjung. Kinilah saatnya memilih dengan bijak.