5 Fakta Menarik Lekewe Gunung, Antelop dengan Sebaran Unik

Penjelasan Mengenai Lekewe Gunung

Afrika dikenal sebagai rumah bagi berbagai spesies antelop yang hidup di berbagai wilayah benua ini. Dari utara hingga selatan, barat hingga timur, pasti ada satu jenis antelop yang tinggal di habitat tertentu. Salah satu spesies yang akan dibahas kali ini adalah lekewe gunung (Redunca fulvorufula). Hewan ini memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil hingga sedang dengan panjang tubuh sekitar 100—136 cm, tinggi 65—89 cm, dan bobot 35—65 kg. Terdapat dimorfisme seksual pada spesies ini, di mana hanya jantan yang memiliki tanduk sepanjang 13—35 cm dan ukuran tubuh yang lebih besar dari betina. Lekewe gunung memiliki rambut halus dan lembut dengan warna abu-abu kekuningan, serta sedikit warna putih di bagian bawah dan sekitar mulut.

Berikut adalah beberapa fakta menarik tentang lekewe gunung:

Peta Persebaran, Habitat, dan Makanan Favorit

Lekewe gunung terdapat di tiga wilayah utama Afrika, yaitu Afrika Selatan dan Botswana, Afrika Timur (Tanzania, Kenya, Uganda, Sudan, dan Ethiopia), serta Afrika Barat (hanya di Kamerun). Ketiga populasi ini membagi spesies menjadi tiga subspesies. Habitat lekewe gunung cukup beragam, termasuk daerah bukit setinggi 1.400—5.000 meter di atas permukaan laut, area datar, kawasan dengan pepohonan, atau dekat sumber air. Mereka sangat fleksibel dalam menjalani aktivitasnya, baik siang maupun malam hari.

Sebagai herbivora, makanan utama lekewe gunung adalah rumput berkualitas tinggi. Mereka sering mencari area dengan vegetasi lebat dan dekat sumber air. Hal ini membuat mereka tergantung pada air tawar setiap harinya.

Kehidupan Sosial Lekewe Gunung

Lekewe gunung hidup dalam kelompok, meskipun struktur kelompoknya unik. Betina biasanya membentuk kelompok yang terdiri dari 3—12 individu, termasuk anak-anak mereka. Jantan cenderung hidup sendiri dan memiliki wilayah teritorial. Sementara itu, lekewe gunung muda, terutama jantan muda, membentuk kelompok kecil.

Jantan dewasa umumnya toleran terhadap kehadiran kelompok betina atau lekewe gunung muda, kecuali saat jantan lain masuk ke wilayahnya. Mereka bisa bersikap agresif dengan mengeluarkan suara khusus dan melakukan kontak fisik menggunakan tanduk jika diperlukan. Kelompok betina saling menjaga satu sama lain, terutama ketika berada di area datar untuk mengamati ancaman predator. Saat cuaca panas, mereka mencari tempat teduh untuk beristirahat.

Cara untuk Bebas dari Serangan Predator

Di Afrika, lekewe gunung menghadapi ancaman dari berbagai predator seperti singa, anjing liar, macan tutul, kucing karakal, dan jakal. Untuk bertahan hidup, mereka memiliki strategi efektif. Salah satunya adalah kemampuan berlari cepat hingga kecepatan 90 km per jam. Kecepatan ini didukung oleh lingkungan alaminya yang berupa kawasan bukit dan gunung yang curam.

Ketika mendeteksi predator, lekewe gunung akan mengeluarkan suara seperti peluit yang melengking sebagai tanda bahaya. Suara ini juga berfungsi sebagai alarm bagi hewan lain di sekitarnya. Hal ini meningkatkan kesempatan mereka untuk selamat dari ancaman predator.

Sistem Reproduksi

Lekewe gunung termasuk hewan poligini, di mana jantan dapat kawin dengan beberapa betina di sekitar wilayahnya. Musim kawin bisa terjadi kapan saja, terutama saat musim kemarau. Betina mengandung selama sekitar 8 bulan dan hanya melahirkan satu anak per periode reproduksi. Anak lekewe gunung akan disembunyikan di area dengan vegetasi lebat selama sebulan pertama. Setelah itu, mereka diperkenalkan ke kelompok induk. Lekewe gunung jantan dianggap dewasa saat berusia 27 bulan, sedangkan betina sekitar 9—24 bulan. Di alam liar, usia maksimum lekewe gunung mencapai 18 tahun.

Status Konservasi

Menurut IUCN Red List, lekewe gunung termasuk dalam kategori “terancam punah” karena penurunan populasi yang signifikan setiap tahun. Alasan utamanya adalah perburuan ilegal, konflik dengan manusia akibat masuknya lekewe gunung ke lahan pertanian, serta ekspansi lahan manusia yang mengurangi habitat alami mereka. Populasi lekewe gunung diperkirakan sekitar 36.000 individu, dengan subspesies di Afrika Selatan memiliki jumlah terbesar, sementara subspesies di Afrika Barat hanya tersisa sekitar 450 individu.

Upaya konservasi sangat penting untuk memastikan kelestarian spesies ini. Dengan perlindungan yang optimal, harapan untuk melestarikan lekewe gunung tetap terbuka.

Perbedaan Cheetah Asia dan Afrika

Perbedaan Cheetah Afrika dan Cheetah Asia

Cheetah (Acinonyx jubatus) adalah spesies kucing liar yang dikenal sebagai hewan darat tercepat di dunia. Meskipun hanya memiliki satu genus, yaitu Acinonyx, dalam spesies ini terdapat lima subspesies yang berbeda. Empat dari subspesies tersebut tinggal di Benua Afrika, sementara satu subspesies lainnya, cheetah asia (Acinonyx jubatus venaticus), hidup di Benua Asia. Perbedaan letak geografis ini membuat cheetah afrika dan cheetah asia memiliki karakteristik yang berbeda.

Persebaran dan Habitat

Persebaran cheetah afrika sangat luas di Benua Afrika, dengan empat subspesies yang tersebar di wilayah-wilayah berbeda. Cheetah afrika barat atau cheetah sahara tinggal di kawasan Sahara dan Sahel. Cheetah afrika timur laut berada di sekitar Djibouti, Somalia, Sudan, dan Ethiopia. Cheetah afrika timur tinggal di sekitar Somalia, Tanzania, Kenya, dan Uganda. Sementara itu, cheetah afrika tenggara banyak ditemukan di Afrika Selatan, Namibia, dan Botswana.

Di sisi lain, cheetah asia hanya tinggal di Iran. Dulu, habitat mereka meliputi wilayah yang lebih luas, termasuk Asia Barat, Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Namun, saat ini, cheetah asia hanya tersisa di Iran. Mereka terakhir kali terlihat di luar wilayah Iran pada tahun 1982 di sekitar Pakistan.

Mengenai habitat, cheetah afrika umumnya tinggal di padang rumput, sabana, semak belukar, dan tepian hutan. Sementara itu, cheetah asia lebih sering ditemukan di gurun, semigurun, atau semak belukar yang kering.

Ukuran dan Ciri Fisik

Secara ukuran, cheetah afrika sedikit lebih besar dibandingkan cheetah asia. Panjang tubuh cheetah afrika berkisar antara 121—150 cm, ekor 76 cm, dan bobot 50—70 kg. Sementara itu, cheetah asia memiliki panjang tubuh 112—135 cm, ekor 66—84 cm, dan bobot 34—54 kg.

Selain ukuran, ada perbedaan ciri fisik antara kedua subspesies ini. Rambut cheetah afrika lebih tipis dengan warna cokelat cerah atau cokelat keemasan dan totol yang besar serta banyak. Di sisi lain, rambut cheetah asia lebih tebal dengan warna kuning keemasan seperti pasir dan totol hitam yang lebih sedikit dan kecil.

Pilihan Mangsa

Kehidupan di habitat yang berbeda membuat pilihan mangsa cheetah afrika dan cheetah asia berbeda. Cheetah afrika biasanya memburu antelop berukuran sedang, nyumbu (wildebeest), dan berbagai jenis ungulata maupun mamalia kecil lainnya. Sementara itu, cheetah asia lebih sering mengonsumsi kelinci liar, domba dan kambing liar, gazel ekor hitam, onager (sejenis keledai liar), serta berbagai mamalia kecil lainnya.

Meskipun pilihan mangsa berbeda, keduanya sama-sama mengandalkan kecepatan dalam berburu. Namun, cheetah asia dianggap lebih unggul dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena mereka merupakan predator utama di habitat alami mereka.

Kecepatan Lari

Cheetah dikenal sebagai hewan darat tercepat dengan kecepatan maksimal sekitar 112—120 km per jam. Meski demikian, data kecepatan lari cheetah asia masih terbatas. Alasan utamanya adalah karena habitat cheetah asia tidak memiliki ruang yang cukup untuk menunjukkan kecepatan maksimal mereka. Selain itu, kondisi lingkungan yang berbatu dan berpasir juga memengaruhi kemampuan lari mereka.

Status Konservasi

Secara umum, cheetah masuk dalam kategori rentan punah (Vulnerable) di IUCN Red List. Populasi cheetah afrika diperkirakan sekitar 6.500 individu, sementara cheetah asia hanya tersisa kurang dari 50 individu. Bahkan, sensus yang dilakukan oleh pemerintah Iran menunjukkan hanya ada 12 individu yang tercatat, dengan proporsi 9 jantan dan 3 betina.

Penyebab penurunan populasi cheetah adalah perburuan besar-besaran dan kerusakan habitat. Jika tidak ada upaya konservasi yang serius, subspesies cheetah dengan populasi kecil, terutama cheetah asia, dapat punah dalam waktu 1—2 dekade mendatang. Oleh karena itu, perlindungan terhadap cheetah harus dilakukan secara intensif, termasuk sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak buruk perburuan dan kerusakan habitat.