Kontraksi Pajak Jadi Tanda Ekonomi Melemah, Pertumbuhan Kuartal Depan Terancam

Indikasi Perlambatan Ekonomi dari Kontraksi Penerimaan Pajak

Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menyampaikan bahwa kontraksi tajam dalam penerimaan pajak menjadi indikasi langsung dari perlambatan ekonomi nasional. Menurutnya, pelemahan ini disebabkan oleh penurunan kinerja tiga sumber utama penerimaan negara, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Pajak turun karena ekonomi kita melambat. Ada data BPS yang menunjukkan hal tersebut. Penjelasan BPS mungkin masuk akal secara teknis statistik, terutama mengenai PMTB, pembentukan modal tetap bruto, yang sebagian besar digunakan untuk investasi peralatan, mesin, dan alutsista,” jelas Eko.

Ia menjelaskan bahwa PPh, khususnya PPh badan, terpukul akibat penurunan keuntungan industri dan perusahaan. “Banyak perusahaan mengalami penurunan keuntungan dibandingkan tahun lalu. PHK meningkat berarti keuntungan turun juga,” ujarnya.

Untuk PPN, penurunan dipicu oleh melemahnya daya beli masyarakat. “PPN sangat bergantung pada kemampuan orang untuk membeli. Karena banyak orang kesulitan daya belinya, penjualan rata-rata turun, konsumsi juga turun. Akibatnya penerimaan pajak juga turun,” tambah Eko.

Sementara itu, PNBP yang berasal dari ekspor komoditas juga mengalami tekanan akibat penurunan harga komoditas global. “Tiga komponen ini turun bersamaan. Meski PMTB naik, pajak tetap tidak bisa meningkat,” ujarnya.

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2024

INDEF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2024 tidak akan mencapai 5 persen. “Triwulan III ini akan di bawah 5 persen. Hanya di Triwulan IV ada momentum, tapi harus dimanfaatkan secara strategis. Stimulus sebaiknya dimulai sekarang, bukan nanti menjelang Natal,” kata Eko.

Ia menilai bahwa momentum akhir tahun seperti Natal dan libur tahun baru dapat menjadi pendorong konsumsi jika pemerintah menyiapkan kebijakan sejak dini. “Masyarakat tidak hanya pulang, tapi juga belanja, terutama di daerah, untuk menghidupkan ekonomi di daerah,” ujarnya.

Eko mengkritik strategi stimulus pemerintah yang terlalu menyebar. “Masalahnya stimulus kita banyak jenisnya, kurang duitnya. Jadi ya Rp20 triliun, ini bukan angka kecil, tapi disebar ke terlalu banyak aspek. Harusnya hanya tiga: perbaiki daya beli, ciptakan lapangan kerja, dan jaga stabilitas harga. Yang lain biarkan mekanisme pasar bekerja,” katanya.

Ia menilai sebagian stimulus diarahkan ke sektor yang tidak berdampak berkelanjutan. “Liburan dikasih stimulus memang bisa meningkatkan ekonomi, tapi enggak sustain. Kalau industri yang dikasih stimulus, beda rasanya. Ekonomi akan beda,” ujarnya.

Stabilitas Harga Pangan dan Cadangan Beras

Eko juga menyoroti lemahnya stabilitas harga pangan, khususnya beras, meski pemerintah mengklaim cadangan besar. “Katanya cadangan beras kita 4 juta ton, tapi kok harga beras naik? Orang yang punya duit aja nyari harga beras premium di minimarket susah sekarang,” katanya.

Menurutnya, harga pangan yang stabil lebih penting daripada sekadar besarnya cadangan. “Buat apa cadangan besar kalau harganya terus-terusan naik? Yang dimakan rakyat itu beras di pasar, bukan yang di cadangan. Jadi harus pastikan harganya stabil,” ujarnya.

Proyeksi Penerimaan Pajak dan PNBP

Penerimaan perpajakan tahun ini diproyeksi bakal terkoreksi dari target awal, yakni menjadi Rp2.387,3 triliun dari Rp2.490,9 triliun. Realisasi penerimaan perpajakan tercatat senilai Rp978,3 triliun pada semester I, turun dari Rp1.028 triliun pada semester I 2024. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bakal mengejar penerimaan perpajakan sebesar Rp1.409 triliun pada semester II 2025.

DPR mencatat outlook penerimaan perpajakan pada akhir tahun diproyeksi 95,8 persen terhadap APBN akibat sejumlah faktor, seperti proyeksi ekonomi nasional, fluktuasi harga komoditas utama, implementasi reformasi perpajakan, kebijakan perbaikan administratif, serta upaya pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak.

Sementara itu, outlook penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga mengalami koreksi dari target awal, yakni menjadi Rp477,2 triliun dari Rp513,6 triliun. Dengan realisasi Rp222,9 triliun pada semester I, Kementerian Keuangan perlu mengejar sisa target PNBP sebesar Rp254,4 triliun pada semester II.

Pertumbuhan Penerimaan Pajak

Meski demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan rata-rata penerimaan pajak meningkat menjadi Rp181,3 triliun per bulan pada semester I 2025, dengan total penerimaan pajak bruto mencapai Rp1.087,8 triliun, atau tumbuh 2,3 persen year-on-year (yoy).

“Di 2025 ini sendiri, kami Alhamdulillah bisa mencatat Rp181,3 triliun rata-rata penerimaan per bulan di semester pertama,” lanjutnya.

Kontribusi penerimaan pajak terhadap total penerimaan negara pada semester I tahun ini mencapai 69,23 persen, atau tumbuh sekitar hampir 1,6 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024. Hal tersebut didukung oleh pertumbuhan penerimaan pajak neto yang hingga Juni 2025 mencapai Rp837,79 triliun.

Kepala BPS Pastikan Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen dari Data Lengkap

Penjelasan BPS Mengenai Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2025

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti memberikan respons terhadap keraguan publik dan sejumlah ekonom terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang mencapai 5,12 persen. Ia menegaskan bahwa data yang digunakan oleh BPS lebih lengkap dan akurat dibandingkan pendekatan yang digunakan oleh analis pasar.

“Data 5,12 persen yang kami umumkan telah melalui proses yang sangat ketat. Kami memiliki data yang jauh lebih lengkap dan terperinci,” ujarnya dalam acara penandatanganan nota kesepahaman bersama Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman serta Injourney Grup di Gedung Sarinah, Jakarta, pada Kamis, 14 Agustus 2025.

Dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi, BPS menggunakan sebanyak 1.508 variabel. Sementara itu, menurut Amalia, analis pasar hanya mengandalkan sekitar 20 variabel. “Kami telah memverifikasi bahwa analis biasanya hanya menggunakan 20 variabel,” katanya.

Dengan jumlah variabel yang lebih banyak, ia menilai masyarakat dapat membandingkan tingkat akurasi antara pendekatan BPS dan analisis pasar. “Perbedaan antara 20 variabel dan 1.508 variabel yang kami miliki tentu akan membantu menentukan mana yang lebih akurat,” ujarnya.

Sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) meminta lembaga statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan audit terhadap data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dilaporkan oleh BPS. Celios telah mengirimkan surat permohonan penyelidikan kepada United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa tujuan mereka adalah menjaga kredibilitas data BPS. Menurutnya, data tersebut digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM, dan masyarakat secara umum.

“Surat yang dikirimkan ke PBB berisi permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2025 yang sebesar 5,12 persen year-on-year,” kata Bhima dalam keterangan resmi.

Bhima menyatakan bahwa Celios telah memeriksa kembali seluruh indikator yang disampaikan oleh BPS, seperti data industri manufaktur. BPS melaporkan bahwa lapangan usaha industri pengolahan tumbuh 5,68 persen pada kuartal II 2025. Namun, menurut Bhima, aktivitas manufaktur yang diukur melalui Purchasing Manager’s Index (PMI) justru mengalami kontraksi pada periode yang sama.

Porsi manufaktur terhadap PDB juga menurun, dari 19,25 persen pada triwulan I 2025 menjadi 18,67 persen pada triwulan II 2025. “Artinya, deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya biaya produksi. Jadi, apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen year-on-year?” tanyanya.

Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar menambahkan bahwa jika ada tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar statistik resmi yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB. Ia menekankan bahwa data BPS tidak hanya soal teknis, tetapi juga berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia dan kesejahteraan rakyat.

“Data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan. Bayangkan, dengan data yang tidak akurat, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi baik-baik saja,” ujarnya.

Celios berharap badan statistik PBB segera melakukan investigasi teknis atas metode penghitungan PDB Indonesia di Triwulan II 2025. Lembaga penelitian ekonomi itu juga berharap UNSD dan UN Statistical Commission mendorong pembentukan mekanisme peer-review yang melibatkan pakar independen, serta dukungan reformasi transparansi di tubuh BPS.

BPS sebelumnya mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia kuartal II 2025 tumbuh 5,12 persen secara tahunan, naik dari 4,04 persen pada kuartal I 2025. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto telah membantah dugaan permainan data dari laporan tersebut. “Mana ada (permainan data),” ucap Airlangga kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, pada Selasa, 5 Agustus 2025.

Pihak Istana turut buka suara mengenai angka pertumbuhan ekonomi yang diragukan para ekonom. Kepala Kantor Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi menyebut ekonom yang meragukan data pertumbuhan ekonomi yang dirilis pemerintah sebesar 5,12 persen dikarenakan anggapan negatif.

Hasan mengatakan keresahan kemungkinan disebabkan framing atau pembingkaian. Ia menilai ada beberapa ekonom yang mungkin tidak terlalu positif melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif. “Jadi pertumbuhan ekonomi kita positif, tapi ada yang melihatnya dengan cara yang tidak positif,” kata Hasan di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 7 Agustus 2025.

Hasan memastikan pemerintah jujur dalam mengeluarkan data ekonomi. Menurut dia, tentu pemerintah akan mengatakan pertumbuhan ekonomi turun apabila memang demikian. Ia mencontohkan Presiden Prabowo Subianto sudah menjabat presiden saat memasuki kuartal IV 2024. Saat itu, BPS di bawah Presiden Prabowo mengatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02 persen.

Kemudian, pada kuartal I 2025 BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi turun menjadi 4,87 persen. “Turun, kan? Penurunan itu dikeluarkan oleh pemerintahan yang sama oleh BPS di bawah pemerintahan yang sama. (Kalau) turun, kita bilang turun,” ujarnya.

Menurut Hasan, banyak orang yang sekarang terpaku dengan konsumsi dan belanja pemerintah tanpa menerima data investasi. Misalnya, katanya, data yang dikeluarkan oleh Menteri Investasi bahwa investasi yang sudah terealisasi nilainya Rp 942,9 triliun atau hampir 50 persen dari target investasi tahun ini yang sebesar Rp 1.900 triliun.

Kemudian, serapan lapangan kerja dari realisasi sampai Agustus ini berjumlah 1,25 juta tenaga kerja. “Jadi ada konsumsi, ada investasi, ada government. Di sektor lapangan usaha misalnya, sektor industri manufaktur kita tumbuh 5,6 persen. Investasi yang tadi ini tumbuh 6,99 persen,” ujarnya.