IHSG Mendekati 8.000, Rekomendasi Saham Pilihan Jelang HUT RI ke-80

Penguatan IHSG Menuju Level 8.000

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus menunjukkan penguatan yang signifikan, khususnya menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Sejumlah analis memprediksi bahwa indeks ini bisa mencapai level 8.000 pada hari terakhir perdagangan sebelum perayaan tersebut.

Pada akhir perdagangan Kamis (14/8), IHSG menguat sebesar 0,49% menjadi 7.931, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa atau All Time High (ATH). Sebelumnya, level ATH berada di 7.910,86 pada 19 September 2024. Dalam seminggu terakhir, IHSG berhasil naik sebesar 5,89%, sementara kenaikan tahun ini (year to date) mencapai 12,02%.

Aliran dana asing juga terus mengalir masuk ke pasar modal Indonesia. Pada hari ini saja, dana asing masuk sebesar Rp 864,25 miliar di pasar reguler. Dalam seminggu terakhir, aliran dana asing mencapai Rp 4,36 triliun, sedangkan dalam sebulan terakhir sebesar Rp 3,28 triliun.

Faktor Pendorong Kenaikan IHSG

Menurut pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, kenaikan IHSG saat ini didorong oleh saham-saham emiten konglomerasi dan komoditas, terutama emiten sawit (CPO). Ia melihat kemungkinan besar IHSG akan menyentuh level 8.000 menjelang perayaan Hari Jadi RI.

Fath Aliansyah, Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas Indonesia, menambahkan bahwa kenaikan IHSG dipengaruhi oleh saham blue chips dan konglomerasi yang memiliki valuasi murah. Contohnya adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), dan PT Astra International Tbk (ASII).

Selain itu, saham konglomerasi memiliki momentum positif setelah beberapa emiten seperti PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), PT Petrosea Tbk (PTRO), dan PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU) masuk ke dalam indeks MSCI. Kesuksesan ini memberi harapan bagi saham konglomerasi lainnya untuk ikut masuk indeks global.

Prediksi dan Rekomendasi Saham

Felix Darmawan, ekonom Panin Sekuritas, menyatakan bahwa kenaikan IHSG didorong oleh aliran dana asing ke big caps di sektor perbankan dan telekomunikasi. Meskipun secara simbolis, pencapaian level 8.000 menjelang HUT ke-80 RI bisa dianggap sebagai representasi dari “wajah ekonomi” pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, faktor fundamental yang lebih dominan adalah ekspektasi penurunan suku bunga The Fed, stabilnya rupiah, serta kinerja emiten yang solid.

Oktavianus Audi, VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, menilai bahwa penguatan IHSG saat ini didorong oleh tiga faktor utama: dampak tarif Trump yang diperkirakan mengecil pasca kesepakatan gencatan antara AS dan China, pelonggaran kebijakan moneter, serta valuasi saham yang relatif murah.

Meski demikian, arus masuk dana asing masih bersifat taktikal dan belum sepenuhnya struktural. Outflow asing sejak awal tahun mencapai sekitar Rp 60 triliun, sehingga diperlukan konfirmasi net inflow bulanan berturut-turut dan stabilitas rupiah.

Prospek dan Rekomendasi Investasi

Budi melihat kemungkinan IHSG akan stagnan atau turun setelah mencapai level 8.000, karena tidak ada sentimen positif yang mendorong kenaikan lebih lanjut. Pekan depan, IHSG diperkirakan bergerak di rentang 7.800–7.900, sedangkan di akhir tahun nanti diperkirakan berada di kisaran 7.800–8.000.

Felix menyarankan investor tetap selektif dalam memilih saham berfundamental kuat yang menjadi target asing, seperti BBRI, BBCA, BMRI, BBNI, TLKM, dan ASII. Audi merekomendasikan beli untuk BMRI, BBRI, TLKM, ICBP, dan KLBF dengan target harga masing-masing Rp 6.300, Rp 4.360, Rp 3.240, Rp 11.500, dan Rp 1.720 per saham.

Di tengah penguatan IHSG, investor dapat mulai masuk untuk jangka menengah hingga panjang di saham consumer cyclical yang masih memiliki valuasi menarik, terutama setelah tekanan di semester pertama tahun ini.

Emiten Nikel Tampilkan Kinerja Menggembirakan, Ini Saran Analisnya

Kinerja Positif Emitter Nikel di Semester I-2025

Beberapa perusahaan produsen nikel di Indonesia berhasil menunjukkan kinerja keuangan yang positif pada semester pertama tahun 2025. Meskipun harga komoditas tersebut sedang mengalami penurunan, sejumlah emiten tetap mampu mencatat pertumbuhan yang signifikan.

Salah satu contohnya adalah PT PAM Mineral Tbk (NICL). Perusahaan ini mencatat peningkatan penjualan sebesar 152,07% secara year on year (YoY) menjadi Rp 1,05 triliun. Laba bersih NICL juga melonjak hingga 386,51% YoY menjadi Rp 358,07 miliar. Peningkatan ini didorong oleh kenaikan volume penjualan nikel sebesar 166,46% YoY menjadi 1.885.433 metrik ton.

Selain NICL, PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) juga mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 115,3% YoY menjadi Rp 950,7 miliar. Laba bersih DKFT meningkat 38,2% YoY menjadi Rp 310,3 miliar. Volume penjualan bijih nikel DKFT naik 158,9% YoY menjadi 1,8 juta metrik ton, sementara produksi bijih nikelnya tumbuh 140,3% YoY menjadi 1,7 juta metrik ton.

PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel juga mencatat kenaikan pendapatan sebesar 10,16% YoY menjadi Rp 14,10 triliun. Laba bersih NCKL meningkat 18,77% YoY menjadi Rp 4,05 triliun. Dari sisi operasional, total penjualan bijih nikel NCKL mencapai 12,36 juta wet metric ton (wmt) pada semester I-2025, tumbuh 48% YoY. Di segmen hilir, smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) NCKL mencatat penjualan sebesar 84.817 ton kandungan nikel, sedangkan smelter High Pressure Acid Lead (HPAL) mencatat penjualan MHP dan NiSO sebesar 65.310 ton.

Di sisi lain, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengalami penurunan pendapatan sebesar 10,86% YoY menjadi US$ 426,74 juta. Laba bersih INCO turun 32,29% YoY menjadi US$ 25,25 juta. Namun, INCO berhasil meningkatkan produksi nikel dalam matte sebesar 2% YoY menjadi 35.584 ton. Pengiriman nikel juga meningkat dari 17.096 ton pada kuartal I-2025 menjadi 18.023 ton pada kuartal II-2025.

Manajemen INCO tetap optimistis terhadap prospek bisnis perusahaan pada semester II-2025. Optimisme ini didasarkan pada persetujuan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk 2,2 juta ton bijih saprofit dari Blok Bahodopi serta peningkatan harga baru dengan pelanggan untuk produk nikel matte.

Sementara itu, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) belum merilis laporan keuangan, namun berhasil memproduksi bijih nikel sebanyak 9,10 juta wmt atau naik 117% YoY pada akhir semester I-2025. Penjualan bijih nikel ANTM juga melesat 144% YoY menjadi 8,20 juta wmt.

Analis Korean Investment & Sekuritas Indonesia (KISI) Muhammad Wafi menyatakan bahwa kinerja positif sebagian besar emiten nikel dipengaruhi oleh lonjakan volume produksi atau penjualan bijih nikel. Kenaikan volume ini mampu mengompensasi penurunan harga nikel. Mengutip Trading Economics, harga nikel berada di level US$ 15.037 per ton pada Senin (4/8), turun 1,72% year to date (ytd) sejak awal tahun.

Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan menambahkan bahwa peluang bagi emiten nikel untuk kembali meraih kinerja positif masih terbuka pada semester II-2025. Pertumbuhan produksi dari masing-masing emiten dan potensi pembatasan pasokan di dalam negeri dapat mengurangi tekanan harga global. Permintaan dari sektor stainless steel global juga mulai pulih.

Menurut Ekky, emiten nikel yang berpeluang unggul pada sisa tahun ini adalah mereka yang mampu menjaga volume produksi dan penjualan tinggi dengan struktur biaya efisien. NCKL terlihat unggul karena margin penjualan ekspor dan pipeline hilirisasi yang kuat. Emiten lain seperti NICL dan DKFT juga mencatat perbaikan profitabilitas yang signifikan.

Di lain pihak, ANTM tetap menjadi tolok ukur utama bagi sektor nikel di Indonesia. Sementara INCO lebih sensitif terhadap fluktuasi harga komoditas. Pemulihan kinerjanya sangat bergantung pada perbaikan harga nikel di pasar global.

Ekky melihat bahwa NCKL dan ANTM layak dikoleksi investor sebagai core holding di sektor nikel. Saham DKFT cocok untuk strategi momentum atau swing trading, sedangkan saham INCO bersifat spekulatif dengan berbasis sentimen harga nikel.

Saham NCKL berpotensi melanjutkan penguatan ke target harga berikutnya di kisaran Rp 1.080—1.100 per saham. Saham ANTM saat ini sedang tertekan, namun jika bisa berbalik arah, ada potensi kembali ke atas level Rp 3.000 dengan target harga Rp 3.800—4.000 per saham secara jangka panjang. Adapun saham INCO berpotensi kembali ke level Rp 4.300—4.400 per saham dalam jangka menengah.

Wafi berpendapat bahwa NCKL berpotensi menjadi emiten nikel dengan kinerja paling unggul karena adanya integrasi bisnis yang solid dari hulu ke hilir, diversifikasi produk nikel, dan efisiensi operasional. Saham NCKL layak dicermati investor dengan target harga di level Rp 1.300 per saham.