7 Fakta Menarik tentang Bagas, Babi Hutan yang Sering Ditemui Pendaki

Nama Bagas, Babi Hutan yang Terkenal di Gunung Cikuray

Di kawasan Gunung Cikuray, Jawa Barat, terdapat satu makhluk yang cukup dikenal oleh para pendaki. Nama itu adalah Bagas. Tapi jangan salah paham, Bagas bukanlah seorang porter atau pemandu, melainkan julukan untuk babi hutan yang sering muncul di area tersebut. Dengan sifatnya yang unik dan keberadaannya yang kerap menghiasi perjalanan para pendaki, Bagas menjadi bagian dari pengalaman mendaki di gunung ini.

Populer di Kalangan Pendaki

Nama Bagas berasal dari singkatan “Bagong Ganas”, di mana “Bagong” merujuk pada istilah Sunda untuk babi hutan, sedangkan “Ganas” menggambarkan sifat agresif yang sering dimiliki oleh hewan ini. Keberadaan Bagas bisa membuat para pendaki kaget karena ia sering mendekati tenda dan mencium tas mereka. Namun, hal ini tidak mengurangi antusiasme pendaki untuk menikmati pemandangan dan keindahan Gunung Cikuray.

Di Luar Negeri, Bagas Disebut Banded Pig

Babi hutan seperti Bagas tidak hanya ditemukan di Indonesia. Mamalia dengan nama ilmiah Sus scrofa ini tersebar luas di Asia, Eropa, hingga Afrika Utara. Subspesies yang hidup di Jawa, termasuk Bagas, dikenal sebagai S. s. vittatus. Di luar negeri, subspesies ini disebut banded pig, yang berarti babi bergaris.

Subspesies Paling Basal

Menurut informasi dari situs Jungle Dragon, Bagas merupakan subspesies babi hutan yang paling basal. Artinya, Bagas adalah salah satu yang paling awal bercabang dalam garis keturunan babi hutan. Perbedaan morfologis juga terlihat, seperti ukuran otak yang lebih kecil, struktur tengkorak yang tidak terspesialisasi, serta gigi yang lebih primitif dibandingkan subspesies lain.

Bagas Tidak Hanya Ada di Jawa

Meskipun sering ditemukan di Jawa, Bagas juga hidup di Sumatra dan Kepulauan Sunda Kecil. Mereka cenderung tinggal di daerah dengan sumber air yang stabil dan tutupan vegetasi lebat. Habitatnya mencakup hutan, rawa, daerah tergenang air, sabana, semak belukar, hingga lahan pertanian.

Ramah Jika Tidak Dilukai

Seperti hewan liar lainnya, Bagas bisa menjadi berbahaya jika merasa terancam. Ia akan menyerang jika dilukai atau ditakuti. Selama musim kawin, babi hutan jantan menjadi sangat agresif. Namun, dalam kondisi normal, Bagas bisa ramah dan penuh rasa ingin tahu. Ia biasanya menguik saat bersikap ramah dan menggeram jika agresif.

Omnivor Oportunis

Babi hutan seperti Bagas adalah omnivor opportunis, artinya ia bisa makan apa saja yang ada di sekitarnya. Mereka memakan berbagai jenis tumbuhan dan hewan, bahkan bisa memangsa ternak kecil jika kesempatan muncul. Kemampuan adaptasi ini membantu mereka bertahan hidup di berbagai ekosistem.

Penting bagi Ekosistem

Bagas memiliki peran penting dalam ekosistem. Meski secara umum babi hutan diketahui pemakan beragam, Bagas lebih condong ke arah frugivor, yaitu suka makan buah. Dengan memakan buah-buahan, mereka membantu penyebaran biji-bijian. Interaksi antara pendaki dan Bagas bisa menjadi pelajaran penting tentang pentingnya menjaga kehidupan alami di alam.

5 Fakta Unik Monyet Digo yang Suka Bersosialisasi

Penampilan Monyet Digo

Monyet digo memiliki penampilan yang menarik dan khas. Rambut mereka berwarna gelap pada bagian punggung dan kepala, namun berubah menjadi cokelat muda pada bagian perut serta keempat kaki. Kepala primata ini cenderung membulat dengan sedikit surai di area bawah telinga dan pipi yang berwarna cokelat keabu-abuan. Seperti halnya monyet Dunia Lama lainnya, monyet digo memiliki ekor yang panjang sekitar 35 hingga 40 cm.

Bobot tubuh monyet digo berkisar antara 5 hingga 12 kg, sementara panjang tubuh tanpa ekor mencapai 50 hingga 59 cm. Terdapat dimorfisme seksual pada spesies ini, di mana jantan lebih besar daripada betina. Selain itu, gigi taring bagian atas jantan juga lebih besar dibandingkan betina.

Peta Persebaran, Habitat, dan Makanan Favorit

Monyet digo hanya ditemukan di Pulau Sulawesi, terutama di wilayah Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau kecil sekitarnya seperti Pulau Buton dan Pulau Muna. Spesies yang hidup di dua pulau tersebut dikategorikan sebagai subspesies dengan nama ilmiah Macaca ochreata brunnescens.

Habitat alami monyet digo adalah hutan hujan tropis dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Namun, mereka juga bisa masuk ke daerah pemukiman manusia ketika makanan di hutan langka. Monyet digo termasuk omnivora, sehingga makanan utamanya terdiri dari buah, bunga, daun, dan tanaman pertanian. Mereka juga mengonsumsi serangga dan artropoda untuk melengkapi nutrisi.

Interaksi dengan Spesies Lain

Kehidupan sosial monyet digo sangat dinamis. Mereka membentuk kelompok dengan anggota sekitar 12 hingga 30 individu. Anggota kelompok saling berinteraksi dalam merawat diri, memberi peringatan saat ada bahaya, serta bergerak bersama secara kompak.

Selain berinteraksi sesama monyet, monyet digo juga berinteraksi dengan spesies lain. Misalnya, mereka sering bergerak bersama burung kadalan sulawesi dan srigunting jambul rambut. Tujuannya adalah untuk memperoleh makanan, karena serangga yang beterbangan saat monyet digo bergerak menjadi makanan bagi burung tersebut. Interaksi ini disebut simbiosis komensalisme, di mana salah satu pihak diuntungkan sedangkan yang lain tidak merasa terganggu.

Monyet digo juga berinteraksi dengan spesies monyet lain seperti monyet jambul atau monyet tonkean. Terkadang, kedua spesies ini bergabung membentuk kelompok besar. Perilaku dan protokol sosial mereka mirip, sehingga sering kali ditemukan monyet hibrida hasil kawin silang antara dua spesies ini.

Sistem Reproduksi

Sistem reproduksi monyet digo masih belum sepenuhnya diketahui. Namun, kebiasaan mereka berinteraksi dengan spesies lain membuat dugaan kuat bahwa cara reproduksinya mirip dengan kerabat dekatnya. Musim kawin bisa terjadi sepanjang tahun selama betina menunjukkan tanda-tanda siap bereproduksi, seperti pembengkakan pada area alat reproduksi.

Setelah kawin, betina akan mengandung selama sekitar 170 hari. Dalam satu masa reproduksi, hanya satu anak yang lahir. Anak monyet digo akan tinggal menempel pada tubuh induknya selama satu tahun pertama untuk belajar kemampuan dasar. Setelah itu, anak monyet dapat hidup mandiri tetapi tetap berada dalam kelompok asalnya.

Status Konservasi

Menurut IUCN Red List, status konservasi monyet digo saat ini adalah “rentan punah” (Vulnerable). Populasi mereka terus menurun akibat aktivitas manusia. Alih fungsi lahan besar-besaran di Sulawesi Tenggara mengancam habitat alami monyet digo. Industri kebun sawit dan cokelat serta penambangan ilegal menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri yang meracuni sumber pangan dan minum mereka, menyebabkan kematian dalam jumlah besar.

Upaya konservasi telah dilakukan intensif, seperti menciptakan area proteksi di lokasi-lokasi penting seperti Rawa Aopa Watomahai, Padang Mata Osu, Tanjung Peropa, dan lainnya. Semoga status konservasi monyet digo tidak semakin memburuk, agar primata endemik Indonesia ini tetap lestari.