BPJS Kesehatan Ternate Perbaiki Akurasi Data Peserta JKN PBPU dan BP Pemda

Upaya Pemutakhiran Data Kepesertaan JKN di Maluku Utara

BPJS Kesehatan Cabang Ternate bekerja sama dengan pemerintah daerah se-Provinsi Maluku Utara melakukan pemutakhiran data kepesertaan segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Tujuan dari kegiatan ini adalah memastikan akurasi data dan menjamin masyarakat yang membutuhkan tetap terlindungi oleh Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Ternate, Meryta O. Rondonuwu, menjelaskan bahwa pemutakhiran data dilakukan untuk mengurangi risiko kesalahan dalam penginputan data peserta segmen PBPU dan BP Pemda. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk memperbaiki dan memperbarui data peserta agar sesuai dengan perubahan yang terjadi.

“Data kepesertaan ini terus berubah setiap saat. Penting bagi kami agar data tersebut sudah tepat, seperti perubahan data peserta yang sudah keluar dari Provinsi Maluku Utara, peserta yang sudah meninggal, atau peserta yang sudah berubah status seperti sudah menikah atau sudah bekerja,” jelas Meryta.

Pembaruan data ini diharapkan dapat memastikan bahwa masyarakat yang membutuhkan jaminan kesehatan benar-benar terdaftar dan mendapatkan layanan yang sesuai. Selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah komitmen dan kesiapan pendanaan dari masing-masing pemerintah daerah. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kuota pendaftaran peserta yang ditanggung oleh pemerintah daerah.

Koordinasi dan Komunikasi yang Terus Dilakukan

Koordinasi dan komunikasi antara BPJS Kesehatan dengan pemerintah setempat terus dilakukan dalam rangka menjamin pengelolaan dan kerja sama penjaminan tersebut tidak terputus. Dalam hal ini, Meryta menyoroti pentingnya keterlibatan aktif pemerintah daerah dalam menjaga kelancaran program JKN.

“Kita bisa melihat dari kejadian sebelumnya, seperti ada kabupaten yang harus putus kontrak perjanjian kerja sama dalam penjaminan kesehatan masyarakat karena adanya tunggakan iuran JKN baik tahun berjalan maupun periode sebelumnya. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat tidak dapat menggunakan layanan kesehatan,” ujar Meryta.

Meski akhirnya tunggakan tersebut dibayar dan terjamin kembali, situasi ini menunjukkan betapa pentingnya komitmen pemerintah daerah dalam memastikan pembayaran iuran yang lancar. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati manfaat dari JKN tanpa kendala.

Peran Pemerintah Daerah dalam JKN

Wakil Gubernur Maluku Utara, Sarbin Sehe, menyatakan bahwa pemutakhiran data yang dilakukan bersama BPJS Kesehatan diharapkan bisa memberikan penjaminan secara menyeluruh terhadap masyarakat yang membutuhkan, khususnya di Provinsi Maluku Utara.

“Tugas kita bersama sebagai pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota adalah menjamin kesejahteraan masyarakat, salah satunya di bidang kesehatan. Bersama kita harus memastikan pelaksanaan JKN ini sudah terlaksana dengan baik, salah satunya dengan memastikan data masyarakat yang menerima bantuan JKN yang ditanggung oleh pemerintah ini telah tepat sasaran,” kata Sarbin.

Menurutnya, kerja sama dan koordinasi antarinstansi menjadi hal yang sangat penting dalam pelaksanaan JKN agar dapat berjalan tepat sasaran. Tidak hanya dalam ketepatan data peserta, tetapi juga optimalisasi pelayanan kesehatan secara menyeluruh.

Pentingnya Fasilitas dan Layanan Kesehatan

Selain data kepesertaan yang tepat, penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai serta menjamin aksesibilitas layanan kesehatan yang merata juga merupakan hal penting dalam pelaksanaan JKN.

“Apabila seorang peserta sudah terdaftar dan memiliki JKN namun tidak bisa dipakai karena tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan, entah karena jarak yang jauh atau tidak ada dokter spesialis yang dapat menangani, artinya sama saja masyarakat tersebut tidak bisa berobat. Maka dari itu, peningkatan kualitas layanan fasilitas kesehatan juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan,” tutur Sarbin.

Pendidikan Seks Masih Dianggap Tabu, Perempuan Terancam Risiko Kesehatan

Kesehatan Reproduksi Perempuan di Indonesia Masih Dianggap Tabu

Isu kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia masih menjadi topik yang dianggap tabu. Hal ini menyebabkan banyak perempuan enggan untuk memeriksakan diri meskipun mengalami penyakit serius. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kasus kanker serviks tercatat meningkat, terutama di Jawa Tengah. Menurut data dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di bawah Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Tengah, sebanyak 2.515 perempuan menderita kanker serviks sepanjang 2024.

Secara nasional, Kementerian Kesehatan memperkirakan lebih dari 36.000 kasus baru kanker serviks terdeteksi setiap tahun. Sayangnya, sekitar 70 persen dari kasus tersebut baru diketahui pada stadium lanjut, yang meningkatkan risiko kematian secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan dini masih rendah.

Kalis Mardiasih, aktivis perempuan dan anak, mengungkapkan bahwa konstruksi budaya yang mengajarkan perempuan untuk menutup diri sejak kecil turut membuat isu menstruasi hingga pemeriksaan organ reproduksi dianggap memalukan. Menurutnya, menstruasi adalah siklus biologis yang seharusnya tidak perlu dirahasiakan. Namun, dalam masyarakat, membeli pembalut harus dilakukan secara diam-diam. Bahkan, menunjukkan vagina ke tenaga kesehatan saat sakit pun dianggap aib. Ada yang lebih memilih meninggal daripada menghadapi stigma tersebut.

Pendidikan Seksualitas yang Belum Komprehensif

Kalis menilai bahwa akar persoalan ini terletak pada minimnya pendidikan seksualitas komprehensif di Indonesia. Ia berpendapat bahwa pendidikan seks seharusnya dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Anak-anak dapat dikenalkan dengan organ tubuh, fungsinya, cara menjaga kebersihan, dan keamanan sejak usia TK. Namun, pembelajaran tentang organ reproduksi belum dijelaskan secara terbuka.

“Kurikulum kita belum cukup. Bahkan dulu ada gambar anatomi genital di buku biologi yang disensor. Guru pun jarang menyebut vagina, vulva, atau penis karena dianggap saru. Mindset-nya masih salah,” ungkap Kalis. Ia mencontohkan pengalamannya saat SMA, di mana pendidikan seks hanya berupa seminar sekali seumur hidup sekolah. Seminar tersebut hanya membahas penyakit menular seksual dengan gambar-gambar penis bernanah, berdarah, dan raja singa. Padahal pendidikan seks bukan hanya tentang itu, tetapi juga mengenal tubuh, body image, rasa aman, hingga kemampuan menolak pelecehan.

Stigma Sosial yang Memperburuk Kondisi

Lebih jauh, Kalis menegaskan bahwa stigma sosial juga memperburuk kondisi perempuan, terutama pada kasus kanker serviks atau HIV/AIDS yang sering dikaitkan dengan perilaku seks bebas. “Padahal banyak ibu rumah tangga tertular HPV dari suaminya. Namun, karena stigma yang tinggi, mereka malu untuk memeriksakan diri,” katanya.

Kalis menambahkan bahwa persoalan kesehatan reproduksi perempuan bersifat kompleks dan membutuhkan kerja lintas sektor. Ia menekankan bahwa isu ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Berbagai kementerian seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), Kementerian Hukum dan HAM, serta lainnya juga memiliki peran dalam menangani isu ini. Selain itu, peran tokoh agama sangat penting dalam kampanye kesehatan reproduksi, seperti mendorong Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) test maupun virus human papilloma virus (HPV) DNA yang sudah tersedia gratis di Puskesmas.

Akses Vaksin HPV yang Mahal

Terkait akses vaksin HPV yang dikenal relatif mahal, menembus Rp9 juta, Kalis berharap negara hadir untuk perempuan dengan skema subsidi. Menurutnya, tanpa perubahan budaya dan kebijakan, perempuan akan terus menghadapi risiko kesehatan reproduksi yang serius, sementara stigma membuat mereka memilih untuk diam dan menanggungnya sendiri. Dengan pendidikan yang lebih baik dan kesadaran masyarakat yang meningkat, diharapkan isu kesehatan reproduksi perempuan dapat lebih mudah diakses dan diterima oleh semua kalangan.