Perhelatan Bersejarah di Brazzaville dan Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Bumi
Di balik sorotan media, sebuah perhelatan penting berlangsung di Brazzaville, Republik Kongo. Kongres yang diberi judul First Global Congress of Indigenous Peoples and Local Communities for the Forest Basins menjadi momen bersejarah yang memperkuat kerja sama antar negara-negara di kawasan selatan dalam menghadapi krisis planet yang kita hadapi saat ini. Krisis-krisis tersebut mencakup perubahan iklim, kerusakan keanekaragaman hayati, serta pencemaran lingkungan.
Bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hasil dari forum ini bukan sekadar simbol solidaritas global, tetapi juga memberikan dorongan tambahan untuk memperkuat desakan agar pengakuan penuh atas hak dan wilayah masyarakat adat segera direalisasikan, khususnya di Indonesia.
Spirit dari Brazzaville sangat relevan untuk digaungkan kembali, terlebih saat masyarakat adat dunia memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) setiap 9 Agustus. Tahun ini, AMAN mengangkat tema “Memperkuat Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri: Jalan Menuju Kedaulatan Pangan” dengan tagar #TheAnswerIsUs, sebagai penegasan bahwa masyarakat adat adalah penjaga ekosistem terbaik dunia. Dalam konteks aksi iklim, kami bukan hanya korban—tetapi juga penjaga, pelaku, dan pemimpin.
Kongres yang diselenggarakan selama empat hari pada Mei lalu, diorganisir oleh Global Alliance of Territorial Communities dan Rights and Resources Initiative, mempertemukan para penjaga hutan dari empat bentang alam besar: Amazon, Kongo, Borneo-Mekong-Asia Tenggara, dan Mesoamerika. Semua peserta membawa satu pesan yang sama: “Masa depan bumi tidak bisa diselamatkan tanpa pengakuan dan partisipasi nyata masyarakat adat dan komunitas lokal.”
Pesan Utama dari Kongres Global
Pesan yang diharapkan dapat disebarkan melalui penyelenggaraan forum itu adalah tentang tiga pilar pembangunan berkelanjutan: perlindungan lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, dan partisipasi masyarakat adat serta komunitas lokal di negara-negara berkembang. Tujuan bersama adalah memastikan bahwa hak, kehidupan, dan sistem pengetahuan masyarakat adat dan komunitas lokal mendapat tempat sentral dalam pengelolaan lingkungan global, pendanaan iklim, dan solusi konservasi.
Ironisnya, ketika dunia mulai mengakui peran masyarakat adat, ancaman terhadap hak dan wilayah adat di Indonesia justru semakin besar. Pemerintah, dalam mengejar target pembangunan ekonomi, masih terlalu bergantung pada pendekatan ekstraktif—mulai dari ekspansi lumbung pangan, produksi biofuel, hingga proyek perdagangan karbon—yang sering kali dibungkus dalam narasi transisi energi atau ekonomi hijau.
Dampaknya nyata: pembalakan hutan ilegal meningkat, eksploitasi mineral kritis makin masif, dan wilayah adat terus terancam digerus investasi. Menurut laporan Tempo (Juni 2025), hingga tahun lalu sudah ada 152 perusahaan yang mengantre konsesi baru di kawasan hutan seluas 4,8 juta hektare. Proses perizinannya tertutup, dan wilayah adat kembali menjadi objek rebutan.
Ironi itu makin telanjang bila dibandingkan dengan janji Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai pidatonya—yakni menolak dominasi kekayaan negara oleh segelintir orang. Namun kenyataan di lapangan justru memperlihatkan sebaliknya.
Rancangan Undang-Undang yang Masih Tertunda
Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang diusulkan sejak 2009 masih belum kunjung disahkan. Justru yang lebih cepat bergerak adalah antrean perizinan baru yang berpotensi merampas hak 37 komunitas masyarakat adat di atas 310 ribu hektare wilayah adat.
Di Brazzaville, para delegasi kongres menyepakati satu hal penting: masyarakat adat dan komunitas lokal bukan sekadar pihak yang terkena dampak perubahan iklim, melainkan pemilik solusi. Kami adalah pemegang hak dan harus diakui sebagai pemimpin dalam pelindungan lingkungan, pendanaan iklim, dan konservasi.
Pesan kuat juga disampaikan kepada pemerintah, donor, dan lembaga global: wujudkan kemitraan sejati—berbasis pada rasa hormat, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama untuk meregenerasi planet ini bagi generasi sekarang dan mendatang.
Langkah yang Harus Dilakukan
Kesepakatan yang dihasilkan di Brazzaville akan dibawa ke Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil, November mendatang. Pesan-pesan yang akan dibawa ke COP30 memiliki makna yang jauh lebih besar: ini adalah peta jalan bagi perjuangan ke depan—baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Apa yang bisa dilakukan? Banyak. Dari dokumentasi dan riset, narasi publik dan advokasi, hingga desakan kebijakan. Semua itu telah dilakukan, namun butuh didorong lebih jauh. Strategi yang disepakati di Brazzaville menekankan pentingnya: Pertama, Kolaborasi global yang lebih luas dengan aktor-aktor yang aktif mendukung masyarakat adat. Kedua, Pemanfaatan forum internasional seperti COP sebagai panggung untuk menegaskan posisi masyarakat adat dalam agenda iklim. Ketiga, Mekanisme pendanaan iklim yang adil, tidak berbasis pasar, dan langsung menjangkau masyarakat adat serta komunitas lokal.
Indonesia memiliki potensi besar. Hingga Mei 2025, data menunjukkan bahwa total wilayah ICCAs yang telah terdaftar seluas 647,4 ribu hektar secara nasional. Masih ada potensi hingga 33,6 juta hektare wilayah adat yang sudah dipetakan dan belum sepenuhnya diakui negara.
Namun potensi ini hanya akan menjadi angka di atas kertas jika tidak segera diakui dan dilindungi. Perjuangan ini masih panjang, tetapi dengan tambahan daya dari Brazzaville, arah langkah kita menjadi lebih terang—ibarat terowongan gelap yang mulai menerima cahaya dari ujungnya.
Selamat Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Tahun 2025!