Kepala BPS Pastikan Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen dari Data Lengkap

Penjelasan BPS Mengenai Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2025

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti memberikan respons terhadap keraguan publik dan sejumlah ekonom terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang mencapai 5,12 persen. Ia menegaskan bahwa data yang digunakan oleh BPS lebih lengkap dan akurat dibandingkan pendekatan yang digunakan oleh analis pasar.

“Data 5,12 persen yang kami umumkan telah melalui proses yang sangat ketat. Kami memiliki data yang jauh lebih lengkap dan terperinci,” ujarnya dalam acara penandatanganan nota kesepahaman bersama Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman serta Injourney Grup di Gedung Sarinah, Jakarta, pada Kamis, 14 Agustus 2025.

Dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi, BPS menggunakan sebanyak 1.508 variabel. Sementara itu, menurut Amalia, analis pasar hanya mengandalkan sekitar 20 variabel. “Kami telah memverifikasi bahwa analis biasanya hanya menggunakan 20 variabel,” katanya.

Dengan jumlah variabel yang lebih banyak, ia menilai masyarakat dapat membandingkan tingkat akurasi antara pendekatan BPS dan analisis pasar. “Perbedaan antara 20 variabel dan 1.508 variabel yang kami miliki tentu akan membantu menentukan mana yang lebih akurat,” ujarnya.

Sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) meminta lembaga statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan audit terhadap data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dilaporkan oleh BPS. Celios telah mengirimkan surat permohonan penyelidikan kepada United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa tujuan mereka adalah menjaga kredibilitas data BPS. Menurutnya, data tersebut digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM, dan masyarakat secara umum.

“Surat yang dikirimkan ke PBB berisi permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2025 yang sebesar 5,12 persen year-on-year,” kata Bhima dalam keterangan resmi.

Bhima menyatakan bahwa Celios telah memeriksa kembali seluruh indikator yang disampaikan oleh BPS, seperti data industri manufaktur. BPS melaporkan bahwa lapangan usaha industri pengolahan tumbuh 5,68 persen pada kuartal II 2025. Namun, menurut Bhima, aktivitas manufaktur yang diukur melalui Purchasing Manager’s Index (PMI) justru mengalami kontraksi pada periode yang sama.

Porsi manufaktur terhadap PDB juga menurun, dari 19,25 persen pada triwulan I 2025 menjadi 18,67 persen pada triwulan II 2025. “Artinya, deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya biaya produksi. Jadi, apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen year-on-year?” tanyanya.

Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar menambahkan bahwa jika ada tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar statistik resmi yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB. Ia menekankan bahwa data BPS tidak hanya soal teknis, tetapi juga berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia dan kesejahteraan rakyat.

“Data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan. Bayangkan, dengan data yang tidak akurat, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi baik-baik saja,” ujarnya.

Celios berharap badan statistik PBB segera melakukan investigasi teknis atas metode penghitungan PDB Indonesia di Triwulan II 2025. Lembaga penelitian ekonomi itu juga berharap UNSD dan UN Statistical Commission mendorong pembentukan mekanisme peer-review yang melibatkan pakar independen, serta dukungan reformasi transparansi di tubuh BPS.

BPS sebelumnya mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia kuartal II 2025 tumbuh 5,12 persen secara tahunan, naik dari 4,04 persen pada kuartal I 2025. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto telah membantah dugaan permainan data dari laporan tersebut. “Mana ada (permainan data),” ucap Airlangga kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, pada Selasa, 5 Agustus 2025.

Pihak Istana turut buka suara mengenai angka pertumbuhan ekonomi yang diragukan para ekonom. Kepala Kantor Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi menyebut ekonom yang meragukan data pertumbuhan ekonomi yang dirilis pemerintah sebesar 5,12 persen dikarenakan anggapan negatif.

Hasan mengatakan keresahan kemungkinan disebabkan framing atau pembingkaian. Ia menilai ada beberapa ekonom yang mungkin tidak terlalu positif melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif. “Jadi pertumbuhan ekonomi kita positif, tapi ada yang melihatnya dengan cara yang tidak positif,” kata Hasan di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 7 Agustus 2025.

Hasan memastikan pemerintah jujur dalam mengeluarkan data ekonomi. Menurut dia, tentu pemerintah akan mengatakan pertumbuhan ekonomi turun apabila memang demikian. Ia mencontohkan Presiden Prabowo Subianto sudah menjabat presiden saat memasuki kuartal IV 2024. Saat itu, BPS di bawah Presiden Prabowo mengatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02 persen.

Kemudian, pada kuartal I 2025 BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi turun menjadi 4,87 persen. “Turun, kan? Penurunan itu dikeluarkan oleh pemerintahan yang sama oleh BPS di bawah pemerintahan yang sama. (Kalau) turun, kita bilang turun,” ujarnya.

Menurut Hasan, banyak orang yang sekarang terpaku dengan konsumsi dan belanja pemerintah tanpa menerima data investasi. Misalnya, katanya, data yang dikeluarkan oleh Menteri Investasi bahwa investasi yang sudah terealisasi nilainya Rp 942,9 triliun atau hampir 50 persen dari target investasi tahun ini yang sebesar Rp 1.900 triliun.

Kemudian, serapan lapangan kerja dari realisasi sampai Agustus ini berjumlah 1,25 juta tenaga kerja. “Jadi ada konsumsi, ada investasi, ada government. Di sektor lapangan usaha misalnya, sektor industri manufaktur kita tumbuh 5,6 persen. Investasi yang tadi ini tumbuh 6,99 persen,” ujarnya.

Ahli Siber Ingatkan Dampak Lobby pada Kebijakan Teknologi di Indonesia, Bagaimana Bisa?

Ancaman dari Aktivitas Lobbyist Asing di Indonesia

Pakar keamanan siber yang juga Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, menyampaikan bahwa era digital yang semakin kompleks membawa ancaman siber yang tidak hanya berasal dari luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri sendiri. Salah satu bentuk ancaman yang paling berbahaya menurut Ardi adalah aktivitas para lobbyist yang mewakili kepentingan asing. Mereka memiliki potensi untuk menggoyahkan tatanan demokrasi dan keamanan nasional Indonesia.

Menurutnya, penting untuk memahami bagaimana operasi pengaruh (influence operation) yang dilakukan oleh lobbyist ini dapat memengaruhi penyusunan kebijakan strategis di bidang teknologi, serta dampaknya terhadap kedaulatan dan integritas negara. Fenomena ini bukan sekadar isu teoritis, melainkan ancaman nyata yang telah terbukti di berbagai negara dan kini mulai mengintai Indonesia.

Lobbying adalah praktik yang sudah ada sejak lama, di mana individu atau kelompok berusaha memengaruhi keputusan pemerintah demi kepentingan tertentu. Praktik ini sebenarnya merupakan bagian dari sistem demokrasi yang memungkinkan berbagai pihak untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Namun, ketika lobbying dilakukan untuk kepentingan asing dan tidak diatur dengan baik, praktik ini dapat menjadi alat untuk merusak kedaulatan negara.

Di Amerika Serikat, keberadaan lobbyist diatur secara ketat melalui Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing (Foreign Agents Registration Act, FARA) yang disahkan pada tahun 1938. Undang-undang ini mengharuskan individu atau entitas yang beroperasi sebagai agen untuk kepentingan asing untuk mendaftar dan mengungkapkan hubungan mereka dengan pihak asing tersebut. Melalui FARA, pemerintah AS berusaha menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengaruh yang diberikan oleh pihak asing terhadap kebijakan publik.

Sejarah FARA dimulai dari kekhawatiran pemerintah AS terhadap propaganda Nazi pada masa menjelang Perang Dunia II. Undang-undang ini kemudian berkembang menjadi instrumen penting untuk mengawasi aktivitas agen asing di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya, FARA telah digunakan untuk mengungkap berbagai kasus pengaruh asing, mulai dari upaya Uni Soviet pada masa Perang Dingin hingga aktivitas negara-negara seperti China, Rusia, dan negara-negara Timur Tengah di era modern.

Pengalaman AS ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya regulasi yang ketat terhadap aktivitas lobbying asing. Ardi menyebutkan bahwa studi kasus penerapan FARA menunjukkan bagaimana lobbyist dapat beroperasi dengan cara yang sangat terorganisir dan sophisticated. Mereka sering kali bekerja sama dengan perusahaan teknologi besar, lembaga think tank, universitas, dan organisasi non-pemerintah untuk mempromosikan agenda yang sejalan dengan kepentingan negara asal mereka.

Bagaimana Lobbyist di Indonesia?

Ardi menjelaskan bahwa fenomena lobbyist ini mulai terlihat dengan semakin intensifnya persaingan geopolitik global. Dalam upaya untuk memajukan teknologi dan inovasi, banyak perusahaan asing, terutama dari negara-negara dengan kepentingan strategis seperti China, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa, berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia. Mereka menggunakan lobbyist yang memiliki jaringan luas di kalangan pembuat kebijakan, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya. Lobbyist ini tidak hanya membawa agenda perusahaan mereka, tetapi juga sering kali menyisipkan narasi yang mendukung kepentingan strategis negara asal mereka.

Siapa Saja Para Lobbyist?

Menurut Ardi, umumnya para lobbyist adalah mantan pejabat pemerintah, akademisi terkemuka, atau konsultan bahkan para professional yang memiliki akses ke lingkaran kekuasaan. Mereka memanfaatkan hubungan personal dan profesional yang telah dibangun selama bertahun-tahun untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Dengan cara ini, mereka berpotensi mengubah arah kebijakan teknologi Indonesia, yang seharusnya berfokus pada kemandirian dan keamanan nasional.

Sektor yang Paling Rentan

Ardi mengungkapkan bahwa sektor teknologi dan komunikasi adalah yang paling rentan terhadap pengaruh lobbyist. Sektor ini sangat strategis karena menyangkut infrastruktur kritis negara, data pribadi warga negara, dan keamanan siber nasional. Ardi mencontohkan upaya berbagai perusahaan teknologi asing untuk mempengaruhi kebijakan terkait perlindungan data pribadi. Dengan memberikan informasi yang tidak lengkap atau menyesatkan, mereka bisa mendorong pemerintah untuk mengadopsi regulasi yang lebih menguntungkan bagi mereka, tetapi merugikan bagi masyarakat Indonesia.

Apa Dampak dari Aktivitas Lobbyist?

Ardi menjelaskan dampak dari aktivitas lobbyist asing juga dapat dirasakan dalam bidang ekonomi. Ketika kebijakan ekonomi dan teknologi dipengaruhi oleh kepentingan asing, hal ini dapat menghambat pengembangan industri domestik dan menciptakan ketergantungan ekonomi yang tidak sehat. Misalnya, jika pemerintah mengadopsi standar teknologi yang menguntungkan perusahaan asing tertentu, hal ini dapat menghambat perkembangan perusahaan teknologi lokal dan menciptakan monopoli atau oligopoli yang merugikan konsumen dan ekonomi nasional.

Untuk mengatasi ancaman ini, Ardi menyarankan Indonesia belajar dari pengalaman negara lain, terutama Amerika Serikat dalam menerapkan FARA. Namun, Indonesia juga perlu menyesuaikan pendekatan ini dengan konteks hukum, politik, dan budaya yang ada. Langkah pertama yang dapat diambil adalah membentuk kerangka hukum yang jelas untuk mengatur aktivitas lobbying, terutama yang melibatkan kepentingan asing. Kerangka hukum ini harus mencakup kewajiban pendaftaran bagi lobbyist yang mewakili kepentingan asing, pengungkapan hubungan dan aktivitas mereka, serta pelaporan berkala tentang kegiatan lobbying yang dilakukan.

Selain itu, pemerintah Indonesia perlu membentuk badan pengawas yang independen dan memiliki kewenangan untuk memantau aktivitas lobbying. Badan ini harus dilengkapi dengan sumber daya yang memadai, baik dari segi personel maupun anggaran, untuk dapat melakukan pengawasan yang efektif. Badan pengawas ini juga harus memiliki kekuatan untuk menegakkan hukum dan memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar ketentuan yang ada, termasuk sanksi pidana untuk pelanggaran yang serius.