Apakah Stimulus Menggerakkan Ekonomi?

Pemerintah Terus Gelontorkan Stimulus Ekonomi, Tapi Efektivitasnya Dipertanyakan

Pemerintah Indonesia telah menggelontorkan dana stimulus ekonomi sebesar Rp 57,4 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Stimulus ini dibagi dalam dua tahap, yaitu Tahap I yang disalurkan pada Januari-Februari 2025 dengan besaran Rp 33 triliun dan Tahap II pada Juni-Juli 2025 sebesar Rp 24,4 triliun. Namun, anggaran tersebut tidak sepenuhnya berasal dari APBN.

Beberapa jenis stimulus yang diberikan meliputi diskon tiket pesawat, diskon tiket kereta api, diskon tarif tol, diskon tiket angkutan laut, PPN DTP 100 persen untuk pembelian rumah, diskon tarif listrik 50 persen, serta bantuan subsidi upah (BSU). Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan kembali menggelontorkan anggaran sebesar Rp 10,8 triliun untuk paket stimulus di kuartal III 2025.

Meski demikian, beberapa ahli ekonomi mempertanyakan efektivitas stimulus yang diberikan. Pengamat ekonomi dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyatakan bahwa stimulus hanya mampu menahan laju penurunan konsumsi masyarakat, bukan mendorong pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS, konsumsi rumah tangga pada kuartal I sempat melambat ke level 4,95 persen, lalu naik sedikit menjadi 4,97 persen pada kuartal II. Namun, angka ini masih belum mencapai 5 persen sejak kuartal III 2023.

Syafruddin menilai bahwa pelambatan konsumsi menunjukkan daya beli masyarakat belum pulih secara fundamental. Hal ini membuat stimulus yang diberikan hanya berperan sebagai penyangga jangka pendek. Tekanan inflasi, ketidakpastian global, serta masalah struktural seperti penciptaan lapangan kerja dan penguatan UMKM juga menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan.

Selain itu, pemberian stimulus secara berulang dapat menambah beban APBN. Realisasi APBN hingga April 2025 menunjukkan pendapatan negara baru mencapai 27 persen dari target, sementara defisit anggaran membengkak tajam dari Rp 31,2 triliun pada Februari menjadi Rp 104 triliun per Maret. Dengan ruang fiskal yang semakin sempit, pemberian stimulus dikhawatirkan menjadi beban tanpa dampak signifikan terhadap pertumbuhan.

Kisruh dalam pelaksanaan stimulus juga menambah kekhawatiran. Contohnya, diskon tarif listrik yang awalnya diumumkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akhirnya dibatalkan karena perbedaan sikap antar kementerian. Menurut Syafruddin, koordinasi yang kuat, transparansi fiskal, dan targeting yang presisi sangat penting agar stimulus bisa efektif.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga menyatakan bahwa efektivitas stimulus tidak signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen, angka ini masih memunculkan perdebatan karena tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Stimulus yang langsung menyentuh masyarakat seperti diskon transportasi dan diskon tarif tol hanya berlaku selama liburan. Akibatnya, efeknya bersifat sementara dan lebih menguntungkan masyarakat kelas menengah ke atas. Selain itu, insentif seperti BSU tidak mampu menjangkau pekerja informal yang sebagian besar upahnya di bawah upah minimum.

Bhima juga menyayangkan pemerintah tidak jadi menerapkan diskon tarif listrik pada Juni-Juli 2025. Diskon listrik seharusnya menjadi komplementer atau pelengkap BSU, karena banyak pekerja informal dan UMKM yang terdampak.

Dari sisi pengusaha, Ketua Umum Afiliasi Global Ritel Indonesia, Roy Nicholas Mandey, tidak yakin stimulus mampu mendorong penjualan ritel. Perubahan pola konsumsi masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi membuat belanja ritel sulit tumbuh. Masyarakat cenderung lebih memilih menabung daripada belanja, meskipun ada stimulus seperti diskon tol mudik dan diskon tiket pesawat. Roy juga mengkritik bahwa stimulus pada Juni-Juli 2025 lalu tidak tepat sasaran dan terkesan sebagai uji coba.

Tujuh Tokoh Tionghoa Pahlawan Kemerdekaan Indonesia

Peran Keturunan Tionghoa dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran berbagai elemen masyarakat, termasuk keturunan Tionghoa. Meski secara etnis dan budaya mereka berbeda, para pejuang ini memperlihatkan semangat yang sama untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah. Mereka bekerja tanpa memandang ras atau suku, dan kontribusi mereka menjadi bagian penting dari kemerdekaan Indonesia.

Berikut ini adalah beberapa tokoh keturunan Tionghoa yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia:

  1. John Lie (Daniel Dharma)

    John Lie lahir di Manado pada tahun 1911. Ia adalah seorang perwira Angkatan Laut RI yang aktif selama masa penjajahan Jepang. Ia menempuh pendidikan di sekolah berbahasa Belanda dan kemudian melanjutkan studi militer di Batavia. Salah satu kontribusi besar John Lie adalah berhasil menembus blokade Belanda di Sumatra untuk menukar komoditas Indonesia dengan senjata. Pada tahun 2009, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan.

  2. Lie Eng Hok

    Lie Eng Hok lahir di Balaraja, Tangerang, pada tahun 1893. Ia aktif sebagai jurnalis di surat kabar Tionghoa bernama Sin Po pada awal abad ke-20. Ia terlibat dalam pemberontakan di Banten pada tahun 1926 dan memberikan informasi rahasia tentang pasukan Belanda kepada para pejuang. Selama pengasingannya di Boven Digoel, ia tetap menolak bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Pada tahun 1959, ia diangkat sebagai Perintis Kemerdekaan RI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.

  3. Sho Bun Seng

    Sho Bun Seng adalah seorang penggiat seni yang juga aktif dalam perjuangan anti-Belanda. Ia bergabung dengan kelompok gerilya dan bertugas memata-matai Pao An Tui, yaitu kelompok Tionghoa pro-Belanda. Setelah kemerdekaan, ia terlibat dalam menumpaskan pemberontakan DI/TII. Sho Bun Seng meninggal pada usia 89 tahun dan dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

  4. Tjia Giok Thwam (Basuki Hidayat)

    Basuki Hidayat lahir di Surabaya pada tahun 1927. Ia terlibat dalam pertempuran melawan Belanda sejak usia 18 tahun. Setelah pensiun dari dunia militer, ia melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Ia menerima sejumlah tanda kehormatan atas jasa-jasanya sebagai pejuang kemerdekaan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang.

  5. Ferry Sie King Lien

    Ferry Sie King Lien lahir pada tahun 1933 dan ikut mengangkat senjata saat usia 16 tahun dalam pertempuran Solo. Ia bersama rekan-rekannya melakukan berbagai aksi untuk memotivasi rakyat dan menentang propaganda Belanda. Sayangnya, ia gugur dalam pertempuran tersebut. Ia menjadi satu-satunya keturunan Tionghoa yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jurug, Solo.

  6. Ong Tjong Bing (Daya Sabdo Kasworo)

    Ong Tjong Bing berjuang sebagai dokter yang merawat korban pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Setelah menyelesaikan pendidikan sebagai dokter gigi, ia bergabung dalam militer dan aktif menumpas berbagai pemberontakan. Ia pensiun pada tahun 1976 dengan pangkat Letnan Kolonel.

  7. Soe Hok Gie

    Soe Hok Gie adalah aktivis reformasi yang sangat berpengaruh meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran kemerdekaan. Ia menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Soekarno melalui tulisan-tulisan di media massa. Ia meninggal pada usia 26 tahun, namun catatan-catatan harian dan pemikirannya terus diingat dan diteladani.

Selain tokoh-tokoh di atas, masih banyak lagi pejuang keturunan Tionghoa yang berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kegigihan dan dedikasi mereka layak untuk dikenang dan dihargai. Dengan menjaga persatuan dan menghindari sentimen rasial, bangsa Indonesia dapat terus berkembang dan maju.