Pendidikan Seks Masih Dianggap Tabu, Perempuan Terancam Risiko Kesehatan

Kesehatan Reproduksi Perempuan di Indonesia Masih Dianggap Tabu

Isu kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia masih menjadi topik yang dianggap tabu. Hal ini menyebabkan banyak perempuan enggan untuk memeriksakan diri meskipun mengalami penyakit serius. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kasus kanker serviks tercatat meningkat, terutama di Jawa Tengah. Menurut data dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di bawah Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Tengah, sebanyak 2.515 perempuan menderita kanker serviks sepanjang 2024.

Secara nasional, Kementerian Kesehatan memperkirakan lebih dari 36.000 kasus baru kanker serviks terdeteksi setiap tahun. Sayangnya, sekitar 70 persen dari kasus tersebut baru diketahui pada stadium lanjut, yang meningkatkan risiko kematian secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan dini masih rendah.

Kalis Mardiasih, aktivis perempuan dan anak, mengungkapkan bahwa konstruksi budaya yang mengajarkan perempuan untuk menutup diri sejak kecil turut membuat isu menstruasi hingga pemeriksaan organ reproduksi dianggap memalukan. Menurutnya, menstruasi adalah siklus biologis yang seharusnya tidak perlu dirahasiakan. Namun, dalam masyarakat, membeli pembalut harus dilakukan secara diam-diam. Bahkan, menunjukkan vagina ke tenaga kesehatan saat sakit pun dianggap aib. Ada yang lebih memilih meninggal daripada menghadapi stigma tersebut.

Pendidikan Seksualitas yang Belum Komprehensif

Kalis menilai bahwa akar persoalan ini terletak pada minimnya pendidikan seksualitas komprehensif di Indonesia. Ia berpendapat bahwa pendidikan seks seharusnya dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Anak-anak dapat dikenalkan dengan organ tubuh, fungsinya, cara menjaga kebersihan, dan keamanan sejak usia TK. Namun, pembelajaran tentang organ reproduksi belum dijelaskan secara terbuka.

“Kurikulum kita belum cukup. Bahkan dulu ada gambar anatomi genital di buku biologi yang disensor. Guru pun jarang menyebut vagina, vulva, atau penis karena dianggap saru. Mindset-nya masih salah,” ungkap Kalis. Ia mencontohkan pengalamannya saat SMA, di mana pendidikan seks hanya berupa seminar sekali seumur hidup sekolah. Seminar tersebut hanya membahas penyakit menular seksual dengan gambar-gambar penis bernanah, berdarah, dan raja singa. Padahal pendidikan seks bukan hanya tentang itu, tetapi juga mengenal tubuh, body image, rasa aman, hingga kemampuan menolak pelecehan.

Stigma Sosial yang Memperburuk Kondisi

Lebih jauh, Kalis menegaskan bahwa stigma sosial juga memperburuk kondisi perempuan, terutama pada kasus kanker serviks atau HIV/AIDS yang sering dikaitkan dengan perilaku seks bebas. “Padahal banyak ibu rumah tangga tertular HPV dari suaminya. Namun, karena stigma yang tinggi, mereka malu untuk memeriksakan diri,” katanya.

Kalis menambahkan bahwa persoalan kesehatan reproduksi perempuan bersifat kompleks dan membutuhkan kerja lintas sektor. Ia menekankan bahwa isu ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Berbagai kementerian seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), Kementerian Hukum dan HAM, serta lainnya juga memiliki peran dalam menangani isu ini. Selain itu, peran tokoh agama sangat penting dalam kampanye kesehatan reproduksi, seperti mendorong Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) test maupun virus human papilloma virus (HPV) DNA yang sudah tersedia gratis di Puskesmas.

Akses Vaksin HPV yang Mahal

Terkait akses vaksin HPV yang dikenal relatif mahal, menembus Rp9 juta, Kalis berharap negara hadir untuk perempuan dengan skema subsidi. Menurutnya, tanpa perubahan budaya dan kebijakan, perempuan akan terus menghadapi risiko kesehatan reproduksi yang serius, sementara stigma membuat mereka memilih untuk diam dan menanggungnya sendiri. Dengan pendidikan yang lebih baik dan kesadaran masyarakat yang meningkat, diharapkan isu kesehatan reproduksi perempuan dapat lebih mudah diakses dan diterima oleh semua kalangan.

Dilema Asuransi Kesehatan Swasta dan Sistem Co-Payment

Sejarah dan Peran Asuransi dalam Sistem Hukum Indonesia

Asuransi adalah sistem pertanggungan yang dirancang untuk memberikan manfaat bagi perusahaan asuransi sekaligus melindungi nasabah dari berbagai risiko keuangan atau kerugian. Meskipun terdengar seperti konsep modern, asuransi sudah ada di Indonesia sejak masa kolonial. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang merupakan warisan dari masa penjajahan.

Saat ini, pengaturan asuransi diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Selain itu, aturan umum juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan KUHD. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang mengawasi sektor jasa keuangan, termasuk asuransi, telah menerbitkan Surat Edaran No. 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Dalam surat edaran ini, dibahas mengenai co-payment, yaitu skema pembagian risiko antara peserta asuransi dan perusahaan asuransi.

Apa Itu Co-Payment?

Co-payment merujuk pada bentuk partisipasi peserta asuransi dalam membayar biaya layanan kesehatan. Menurut informasi dari OJK, co-payment diberlakukan sebagai upaya mencegah moral hazard dan mengurangi penggunaan layanan kesehatan secara berlebihan (overutilitas). Dalam surat edaran tersebut, peserta asuransi kesehatan harus menanggung 10 persen dari total biaya yang diajukan. Namun, perusahaan asuransi diperbolehkan menetapkan batas maksimum biaya yang lebih tinggi, selama hal tersebut dicantumkan dalam polis.

Meski demikian, penerapan co-payment ini dinilai bertentangan dengan fungsi utama asuransi, yang seharusnya menjadi alat transfer risiko dari nasabah kepada perusahaan asuransi. Pasal 246 KUHD menyatakan bahwa asuransi adalah perjanjian di mana penanggung mengikatkan diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan ganti rugi atas kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan akibat suatu peristiwa tidak pasti.

Premi dan Batasan dalam Asuransi Kesehatan

Premi adalah bentuk kewajiban nasabah dalam membayar sejumlah uang kepada perusahaan asuransi. Pembayaran ini dilakukan berdasarkan perhitungan yang matang, sesuai dengan kondisi tertanggung. Premi menjadi dasar pengalihan risiko kesehatan kepada perusahaan asuransi. Untuk asuransi kesehatan, biasanya terdapat pemeriksaan kesehatan awal sebelum menentukan besarnya premi dan nilai pertanggungan.

Selain itu, dalam asuransi kesehatan biasanya terdapat dua jenis batasan: annual limit dan life limit. Annual limit adalah batasan nominal klaim yang bisa diajukan dalam setahun, sedangkan life limit adalah batasan total klaim sepanjang masa perlindungan. Batasan-batasan ini menjadi panduan nasabah dalam menggunakan fasilitas kesehatan yang ditanggung oleh perusahaan asuransi.

Kritik terhadap Penerapan Co-Payment

Penerapan co-payment dianggap tidak logis karena nasabah sudah memiliki kewajiban membayar premi dan menjalani batasan klaim yang telah ditentukan. Jika tujuan co-payment adalah mencegah overutilitas, maka seharusnya batasan yang sudah ada dalam polis cukup digunakan. Selain itu, asuransi swasta bukanlah bentuk asuransi wajib, sehingga nasabah bergabung dengan kesadaran penuh dan sepakat mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi.

Menurut penulis, OJK sebaiknya tidak melanjutkan penerapan co-payment karena akan merugikan nasabah. Asuransi kesehatan swasta dirancang untuk memberikan perlindungan tanpa beban tambahan yang tidak seimbang. Dengan adanya batasan klaim dan premi yang telah ditentukan, nasabah sudah diberi perlindungan yang cukup. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pengawas untuk mempertimbangkan kepentingan nasabah dalam setiap regulasi yang dikeluarkan.