Ahli Siber Ingatkan Dampak Lobby pada Kebijakan Teknologi di Indonesia, Bagaimana Bisa?

Ancaman dari Aktivitas Lobbyist Asing di Indonesia

Pakar keamanan siber yang juga Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, menyampaikan bahwa era digital yang semakin kompleks membawa ancaman siber yang tidak hanya berasal dari luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri sendiri. Salah satu bentuk ancaman yang paling berbahaya menurut Ardi adalah aktivitas para lobbyist yang mewakili kepentingan asing. Mereka memiliki potensi untuk menggoyahkan tatanan demokrasi dan keamanan nasional Indonesia.

Menurutnya, penting untuk memahami bagaimana operasi pengaruh (influence operation) yang dilakukan oleh lobbyist ini dapat memengaruhi penyusunan kebijakan strategis di bidang teknologi, serta dampaknya terhadap kedaulatan dan integritas negara. Fenomena ini bukan sekadar isu teoritis, melainkan ancaman nyata yang telah terbukti di berbagai negara dan kini mulai mengintai Indonesia.

Lobbying adalah praktik yang sudah ada sejak lama, di mana individu atau kelompok berusaha memengaruhi keputusan pemerintah demi kepentingan tertentu. Praktik ini sebenarnya merupakan bagian dari sistem demokrasi yang memungkinkan berbagai pihak untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Namun, ketika lobbying dilakukan untuk kepentingan asing dan tidak diatur dengan baik, praktik ini dapat menjadi alat untuk merusak kedaulatan negara.

Di Amerika Serikat, keberadaan lobbyist diatur secara ketat melalui Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing (Foreign Agents Registration Act, FARA) yang disahkan pada tahun 1938. Undang-undang ini mengharuskan individu atau entitas yang beroperasi sebagai agen untuk kepentingan asing untuk mendaftar dan mengungkapkan hubungan mereka dengan pihak asing tersebut. Melalui FARA, pemerintah AS berusaha menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengaruh yang diberikan oleh pihak asing terhadap kebijakan publik.

Sejarah FARA dimulai dari kekhawatiran pemerintah AS terhadap propaganda Nazi pada masa menjelang Perang Dunia II. Undang-undang ini kemudian berkembang menjadi instrumen penting untuk mengawasi aktivitas agen asing di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya, FARA telah digunakan untuk mengungkap berbagai kasus pengaruh asing, mulai dari upaya Uni Soviet pada masa Perang Dingin hingga aktivitas negara-negara seperti China, Rusia, dan negara-negara Timur Tengah di era modern.

Pengalaman AS ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya regulasi yang ketat terhadap aktivitas lobbying asing. Ardi menyebutkan bahwa studi kasus penerapan FARA menunjukkan bagaimana lobbyist dapat beroperasi dengan cara yang sangat terorganisir dan sophisticated. Mereka sering kali bekerja sama dengan perusahaan teknologi besar, lembaga think tank, universitas, dan organisasi non-pemerintah untuk mempromosikan agenda yang sejalan dengan kepentingan negara asal mereka.

Bagaimana Lobbyist di Indonesia?

Ardi menjelaskan bahwa fenomena lobbyist ini mulai terlihat dengan semakin intensifnya persaingan geopolitik global. Dalam upaya untuk memajukan teknologi dan inovasi, banyak perusahaan asing, terutama dari negara-negara dengan kepentingan strategis seperti China, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa, berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia. Mereka menggunakan lobbyist yang memiliki jaringan luas di kalangan pembuat kebijakan, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya. Lobbyist ini tidak hanya membawa agenda perusahaan mereka, tetapi juga sering kali menyisipkan narasi yang mendukung kepentingan strategis negara asal mereka.

Siapa Saja Para Lobbyist?

Menurut Ardi, umumnya para lobbyist adalah mantan pejabat pemerintah, akademisi terkemuka, atau konsultan bahkan para professional yang memiliki akses ke lingkaran kekuasaan. Mereka memanfaatkan hubungan personal dan profesional yang telah dibangun selama bertahun-tahun untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Dengan cara ini, mereka berpotensi mengubah arah kebijakan teknologi Indonesia, yang seharusnya berfokus pada kemandirian dan keamanan nasional.

Sektor yang Paling Rentan

Ardi mengungkapkan bahwa sektor teknologi dan komunikasi adalah yang paling rentan terhadap pengaruh lobbyist. Sektor ini sangat strategis karena menyangkut infrastruktur kritis negara, data pribadi warga negara, dan keamanan siber nasional. Ardi mencontohkan upaya berbagai perusahaan teknologi asing untuk mempengaruhi kebijakan terkait perlindungan data pribadi. Dengan memberikan informasi yang tidak lengkap atau menyesatkan, mereka bisa mendorong pemerintah untuk mengadopsi regulasi yang lebih menguntungkan bagi mereka, tetapi merugikan bagi masyarakat Indonesia.

Apa Dampak dari Aktivitas Lobbyist?

Ardi menjelaskan dampak dari aktivitas lobbyist asing juga dapat dirasakan dalam bidang ekonomi. Ketika kebijakan ekonomi dan teknologi dipengaruhi oleh kepentingan asing, hal ini dapat menghambat pengembangan industri domestik dan menciptakan ketergantungan ekonomi yang tidak sehat. Misalnya, jika pemerintah mengadopsi standar teknologi yang menguntungkan perusahaan asing tertentu, hal ini dapat menghambat perkembangan perusahaan teknologi lokal dan menciptakan monopoli atau oligopoli yang merugikan konsumen dan ekonomi nasional.

Untuk mengatasi ancaman ini, Ardi menyarankan Indonesia belajar dari pengalaman negara lain, terutama Amerika Serikat dalam menerapkan FARA. Namun, Indonesia juga perlu menyesuaikan pendekatan ini dengan konteks hukum, politik, dan budaya yang ada. Langkah pertama yang dapat diambil adalah membentuk kerangka hukum yang jelas untuk mengatur aktivitas lobbying, terutama yang melibatkan kepentingan asing. Kerangka hukum ini harus mencakup kewajiban pendaftaran bagi lobbyist yang mewakili kepentingan asing, pengungkapan hubungan dan aktivitas mereka, serta pelaporan berkala tentang kegiatan lobbying yang dilakukan.

Selain itu, pemerintah Indonesia perlu membentuk badan pengawas yang independen dan memiliki kewenangan untuk memantau aktivitas lobbying. Badan ini harus dilengkapi dengan sumber daya yang memadai, baik dari segi personel maupun anggaran, untuk dapat melakukan pengawasan yang efektif. Badan pengawas ini juga harus memiliki kekuatan untuk menegakkan hukum dan memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar ketentuan yang ada, termasuk sanksi pidana untuk pelanggaran yang serius.

Apakah Stimulus Menggerakkan Ekonomi?

Pemerintah Terus Gelontorkan Stimulus Ekonomi, Tapi Efektivitasnya Dipertanyakan

Pemerintah Indonesia telah menggelontorkan dana stimulus ekonomi sebesar Rp 57,4 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Stimulus ini dibagi dalam dua tahap, yaitu Tahap I yang disalurkan pada Januari-Februari 2025 dengan besaran Rp 33 triliun dan Tahap II pada Juni-Juli 2025 sebesar Rp 24,4 triliun. Namun, anggaran tersebut tidak sepenuhnya berasal dari APBN.

Beberapa jenis stimulus yang diberikan meliputi diskon tiket pesawat, diskon tiket kereta api, diskon tarif tol, diskon tiket angkutan laut, PPN DTP 100 persen untuk pembelian rumah, diskon tarif listrik 50 persen, serta bantuan subsidi upah (BSU). Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan kembali menggelontorkan anggaran sebesar Rp 10,8 triliun untuk paket stimulus di kuartal III 2025.

Meski demikian, beberapa ahli ekonomi mempertanyakan efektivitas stimulus yang diberikan. Pengamat ekonomi dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyatakan bahwa stimulus hanya mampu menahan laju penurunan konsumsi masyarakat, bukan mendorong pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS, konsumsi rumah tangga pada kuartal I sempat melambat ke level 4,95 persen, lalu naik sedikit menjadi 4,97 persen pada kuartal II. Namun, angka ini masih belum mencapai 5 persen sejak kuartal III 2023.

Syafruddin menilai bahwa pelambatan konsumsi menunjukkan daya beli masyarakat belum pulih secara fundamental. Hal ini membuat stimulus yang diberikan hanya berperan sebagai penyangga jangka pendek. Tekanan inflasi, ketidakpastian global, serta masalah struktural seperti penciptaan lapangan kerja dan penguatan UMKM juga menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan.

Selain itu, pemberian stimulus secara berulang dapat menambah beban APBN. Realisasi APBN hingga April 2025 menunjukkan pendapatan negara baru mencapai 27 persen dari target, sementara defisit anggaran membengkak tajam dari Rp 31,2 triliun pada Februari menjadi Rp 104 triliun per Maret. Dengan ruang fiskal yang semakin sempit, pemberian stimulus dikhawatirkan menjadi beban tanpa dampak signifikan terhadap pertumbuhan.

Kisruh dalam pelaksanaan stimulus juga menambah kekhawatiran. Contohnya, diskon tarif listrik yang awalnya diumumkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akhirnya dibatalkan karena perbedaan sikap antar kementerian. Menurut Syafruddin, koordinasi yang kuat, transparansi fiskal, dan targeting yang presisi sangat penting agar stimulus bisa efektif.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga menyatakan bahwa efektivitas stimulus tidak signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen, angka ini masih memunculkan perdebatan karena tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Stimulus yang langsung menyentuh masyarakat seperti diskon transportasi dan diskon tarif tol hanya berlaku selama liburan. Akibatnya, efeknya bersifat sementara dan lebih menguntungkan masyarakat kelas menengah ke atas. Selain itu, insentif seperti BSU tidak mampu menjangkau pekerja informal yang sebagian besar upahnya di bawah upah minimum.

Bhima juga menyayangkan pemerintah tidak jadi menerapkan diskon tarif listrik pada Juni-Juli 2025. Diskon listrik seharusnya menjadi komplementer atau pelengkap BSU, karena banyak pekerja informal dan UMKM yang terdampak.

Dari sisi pengusaha, Ketua Umum Afiliasi Global Ritel Indonesia, Roy Nicholas Mandey, tidak yakin stimulus mampu mendorong penjualan ritel. Perubahan pola konsumsi masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi membuat belanja ritel sulit tumbuh. Masyarakat cenderung lebih memilih menabung daripada belanja, meskipun ada stimulus seperti diskon tol mudik dan diskon tiket pesawat. Roy juga mengkritik bahwa stimulus pada Juni-Juli 2025 lalu tidak tepat sasaran dan terkesan sebagai uji coba.