Bebas Royalti, Inilah Daftar Musik Klasik yang Bisa Diputar Secara Legal

Isu Royalti Musik dan Alternatif Legal untuk Tempat Usaha

Belakangan ini, isu penetapan tarif royalti musik untuk sejumlah tempat usaha yang memanfaatkan musik sebagai daya tarik komersial seperti restoran dan kafe menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Pro dan kontra terus berlangsung, terutama dari para musisi jalanan, pelaku UMKM, hingga sektor ekonomi kreatif yang menyampaikan kekhawatiran mereka terkait kebijakan ini.

Beberapa pemilik tempat usaha bahkan mencari cara untuk menghindari kewajiban membayar royalti. Salah satu contohnya adalah dengan memutar suara burung atau suara alam sebagai pengganti musik. Namun, menurut Komisioner LMKN Dedy Kurniadi, suara burung dan suara alam tetap bisa dikenakan royalti jika rekaman tersebut dibuat menggunakan jasa produser. Hal ini disebabkan karena pembayaran royalti pada karya tertentu termasuk lagu, merupakan bentuk penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, setiap pihak yang menampilkan lagu atau musik di ruang publik wajib membayar royalti. Ketentuan ini diperjelas lagi oleh Pasal 2 ayat (1) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa penggunaan ciptaan baik dalam bentuk analog maupun digital sebagai kegiatan yang termasuk dalam penggunaan layanan publik yang bersifat komersial, wajib untuk membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta.

Namun, tidak semua musik yang diputar dikenakan royalti. Ada alternatif legal untuk mengisi suasana kafe dan restoran tanpa harus membayar tarif royalti. Salah satunya adalah dengan memutar musik klasik. Sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) UU Hak Cipta, hak cipta atas musik berlaku selama hidup pencipta dan 70 tahun setelah pencipta karya meninggal dunia. Artinya, setelah lewat 70 tahun, hak ekonomi telah berakhir dan karya tersebut otomatis masuk ke ranah publik.

Dengan demikian, musik klasik dapat digunakan tanpa membayar royalti, karena sudah masuk ke dalam kriteria Pasal 58 ayat (1) UU Hak Cipta. Berikut adalah beberapa komponis musik klasik yang karyanya telah berstatus domain publik:

  1. Ludwig van Beethoven

    Ia lahir di Bonn, Jerman, pada 17 Desember 1770, dan wafat di Wina, Austria, pada 26 Maret 1827. Beethoven menciptakan karya-karya monumental seperti Für Elise, Symphony No. 5, dan Symphony No. 9.

  2. Johann Sebastian Bach

    Bach lahir di Jerman pada 21 Maret 1685 dan wafat pada 28 Juli 1750. Mahakaryanya antara lain Brandenburg Concerto, Mass in B Minor, dan The Well-Tempered Clavier.

  3. Wolfgang Amadeus Mozart

    Lahir di Austria pada 27 Januari 1756 dan meninggal pada 5 Desember 1791. Karyanya yang populer antara lain Eine kleine Nachtmusik, Symphony No. 40 in G minor, dan Piano Concerto No. 21.

  4. Antonio Vivaldi

    Lahir di Venesia pada 4 Maret 1678 dan wafat pada 28 Juli 1741. Karyanya seperti The Four Seasons dan Gloria in D Major sangat terkenal.

  5. Franz Schubert

    Lahir di Austria pada 31 Januari 1797 dan wafat pada 19 November 1828. Karyanya seperti Ave Maria dan Ständchen (Serenade) sering dinyanyikan.

  6. Joseph Haydn

    Lahir di Austria pada 31 Maret 1732 dan wafat pada 31 Mei 1809. Karyanya seperti Symphony No. 94 “Surprise” dan The Creation sangat berpengaruh.

  7. George Frideric Handel

    Lahir di Halle, Jerman, pada 23 Februari 1685 dan wafat pada 14 April 1759. Karyanya seperti Messiah dan Water Music menjadi legenda.

Musik yang Menghantam Jiwa

Musik yang Membebani

Musik dulunya adalah pengisi suasana, pengundang selera, dan penambah kenikmatan ketika seseorang duduk di sebuah kafe, restoran, atau bar. Tapi kini, banyak tempat usaha memilih untuk mematikan musik mereka. Bukan karena pelanggan tak lagi suka, bukan karena selera berubah. Tapi karena mereka takut ditagih, takut melanggar hukum, dan takut membayar royalti yang tidak mereka pahami.

Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, suasana usaha kuliner jadi berubah. Musik kini bukan lagi gratis seperti udara, tapi dikenakan pungutan hukum. Maka muncullah pertanyaan: benarkah keheningan adalah satu-satunya jalan?

Landasan Hukum: Hak Musisi yang Telah Lama Ada

Undang-Undang Hak Cipta sudah lama hidup di Indonesia. Bahkan jauh sebelum era digital, ketika band-band seperti Koes Plus, Panbers, Godbless, The Mercys, hingga Rollies mengisi udara dengan lagu-lagu legendaris, hak cipta sebenarnya telah menjadi payung perlindungan bagi musisi. Namun, selama berpuluh-puluh tahun, pelaksanaannya seperti tidur panjang. Tak ada tata kelola yang jelas tentang bagaimana royalti dikumpulkan dan dibagikan.

Baru pada tahun 2021, lewat PP No. 56 Tahun 2021, pemerintah menegaskan bahwa musik yang diputar di ruang publik—termasuk tempat usaha—harus dihargai. Royalti wajib dibayarkan kepada pemilik hak cipta. Mekanismenya? Diserahkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Masalah Inti: Ketika Hitungan Tak Masuk Akal

Masalah muncul bukan pada niat, tapi pada pelaksanaan. Contoh paling mencolok adalah kasus Mie Gacoan di Bali, yang ditagih royalti hingga Rp 2,5 miliar. Bagaimana hitungannya? Dihitung jumlah kursi di gerai (misal 100 kursi). Dikalikan dengan tarif tahunan per kursi (misalnya Rp 125.000). Dikalikan dengan jumlah tahun penggunaan musik (anggap 2 tahun). Maka: 100 x 125.000 x 2 = Rp 25 juta.

Namun angka ini bisa berlipat jika terjadi denda atas keterlambatan atau dianggap belum pernah membayar. Ada beberapa cabang yang terkena hitungan kumulatif. Nilai kursi dinilai lebih tinggi berdasarkan lokasi atau klasifikasi usaha. Dan pada akhirnya, angka bisa “membengkak” menjadi miliaran, padahal pemilik usaha merasa tidak pernah diminta membayar sebelumnya. Inilah yang disebut banyak pengusaha sebagai jebakan regulasi.

Pertanyaan yang Tak Terjawab: Musik Siapa, Uang Ke Mana?

Persoalan lain yang lebih pelik adalah bagaimana uang royalti itu dibagikan? LMKN tidak menciptakan lagu. Mereka adalah entitas pemerintah yang mengelola royalti dari publik dan menyalurkannya kepada pemilik hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Ada banyak LMK di Indonesia, masing-masing mewakili komponis, pencipta lirik, hingga produser rekaman.

Namun, sistem distribusinya tidak berdasarkan lagu yang benar-benar diputar di tempat usaha. Karena tidak ada sistem pelaporan otomatis seperti yang digunakan Spotify atau radio, maka LMK menggunakan mekanisme sampling atau pelaporan manual. Misalnya sebuah restoran rutin memutar lagu-lagu Katon Bagaskara dan Ariel Noah. Ketika restoran tidak melaporkan playlist mereka ke LMKN atau LMK, maka tidak ada jaminan Katon atau Ariel akan menerima uang dari tempat tersebut.

Royalti bisa saja masuk ke musisi lain, berdasarkan data nasional, bukan aktual. Maka timbul keraguan di kalangan pelaku usaha: “Saya membayar, tapi siapa yang menerima?”

Kurangnya Sosialisasi dan Transparansi

Banyak pelaku usaha merasa disudutkan oleh aturan yang tidak disosialisasikan secara menyeluruh. Tiba-tiba ada surat tagihan, atau panggilan dari LMKN, tanpa pernah sebelumnya menerima penjelasan apa yang dimaksud dengan kewajiban royalti. Tidak semua pengusaha mengerti bahwa Lagu yang diputar dari YouTube tetap dianggap penggunaan publik; Musik latar dari radio atau TV tetap dihitung sebagai pemanfaatan komersial. Bahkan lagu nasional bisa saja masuk dalam daftar yang wajib royalti jika belum masuk domain publik.

Ada kesan bahwa sistem ini lebih menakut-nakuti daripada mendidik.

Solusi Alternatif: Musik Bebas Royalti

Di tengah kegamangan ini, muncullah solusi: menggunakan musik bebas royalti (royalty-free music) atau musik domain publik. Musik bebas royalti adalah karya musik yang bisa digunakan tanpa perlu membayar royalti tahunan. Tapi itu bukan berarti gratis tanpa aturan. Setiap karya tetap memiliki lisensi yang harus dipatuhi.

Berikut 11 sumber musik bebas royalti yang legal dan aman digunakan di tempat usaha:
* Unminus – Lisensi CC0, bebas pakai, tanpa atribusi
* Free Music Archive (FMA) – Gunakan filter “Commercial Use Allowed”
* FreePD – Dari Kevin MacLeod, legal dan gratis
* Freesound – Efek suara, pastikan lisensi dibaca
* Thematic – Untuk konten kreator, wajib atribusi
* YouTube Audio Library – Pilih lagu yang boleh untuk komersial
* Bensound – Gratis dengan atribusi, atau beli lisensi
* Musopen – Musik klasik domain publik
* Chillhop – Lofi vibes, wajib atribusi
* Mubert – Musik berbasis AI, lisensi komersial
* Pixabay Music – Tanpa atribusi, kualitas profesional

Cara Menggunakan Musik Royalty-Free Secara Legal

Agar aman secara hukum, pelaku usaha perlu memahami cara menggunakan musik bebas royalti dengan benar:
* Pilih lagu dari sumber resmi di atas
* Periksa lisensi tiap lagu – jangan asal putar
* Jika lisensinya butuh atribusi, cantumkan pencipta lagu di tempat usaha (menu, website, atau Instagram)
* Simpan bukti lisensi – screenshot atau tautan file
* Susun playlist sesuai karakter bisnis: santai, klasik, kontemporer, atau anak muda

Dengan demikian, musik tetap hidup, tapi pengusaha tidak takut hukum.

Musik adalah Napas Usaha

Sulit membayangkan restoran Italia tanpa musik klasik di latar. Atau kafe lofi tanpa nuansa santai dari denting gitar atau suara synth. Musik membentuk pengalaman. Namun, regulasi yang membingungkan, sistem yang tidak transparan, serta komunikasi yang minim justru mematikan gairah para pengusaha. Ketimbang dihukum, mereka memilih diam. Padahal diam itu bukan solusi.

Kita membutuhkan sistem yang adil bagi musisi, agar karya mereka dihargai; Yang masuk akal bagi pelaku usaha, agar biaya operasional tak semakin berat; Yang transparan dan mudah diakses, agar semua bisa taat hukum tanpa takut.

Saatnya Menata Ulang

Mewajibkan pembayaran royalti musik adalah langkah maju. Tapi pelaksanaannya harus benar. Jika tidak, kita justru menciptakan ketimpangan baru: para musisi tidak benar-benar mendapatkan bayaran yang layak, sedangkan para pengusaha merasa menjadi korban kebijakan yang tidak transparan.

Penggunaan musik bebas royalti bukanlah pelarian, tapi sebuah pilihan rasional di tengah kebingungan. Musik tetap mengalun, pelanggan tetap betah, bisnis tetap hidup, hukum tetap dijunjung. Kinilah saatnya memilih dengan bijak.