7 Fitur Mobil Murah yang Lebih Bermanfaat daripada Mobil Mewah

Fitur Mobil Murah yang Justru Lebih Praktis Daripada Mobil Mewah

Banyak orang menganggap mobil murah sebagai kendaraan yang tidak memiliki fitur canggih dibandingkan mobil mewah. Padahal, beberapa fitur pada mobil low budget justru lebih fungsional dan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari. Meskipun mobil mahal sering dilengkapi teknologi seperti sunroof otomatis atau head-up display, fitur-fitur tersebut tidak selalu digunakan setiap hari. Sebaliknya, fitur sederhana pada mobil murah bisa menjadi solusi praktis untuk berbagai situasi, terutama di Indonesia yang memiliki kondisi jalan dan iklim yang dinamis.

Berikut adalah tujuh fitur pada mobil murah yang justru lebih berguna daripada fitur-fitur di mobil mewah:

1. Cup Holder Ekstra di Berbagai Posisi

Meski terdengar sepele, cup holder sangat penting bagi pengemudi maupun penumpang saat berkendara jarak jauh. Mobil murah sering menyediakan cup holder di posisi strategis seperti di sisi pintu, tengah dashboard, bahkan dekat kisi AC agar minuman tetap dingin. Fitur ini jarang mendapat sorotan, padahal sangat memudahkan pengguna. Di sisi lain, beberapa mobil mewah justru menyembunyikan cup holder demi alasan estetika, sehingga pengguna harus berkompromi dengan kenyamanan hanya demi tampilan mewah.

2. AC Manual yang Gampang Disetel dan Lebih Responsif

Banyak mobil mewah dilengkapi AC digital otomatis, tapi saat cuaca berubah-ubah, AC manual justru lebih praktis. Pengemudi cukup putar kenop dan atur suhu serta arah angin tanpa perlu repot mengatur menu digital. Selain itu, AC manual lebih minim risiko gangguan karena tidak terlalu bergantung pada sistem elektronik kompleks. Di Indonesia yang panas dan lembap, kecepatan dingin dari AC manual menjadi kebutuhan mutlak.

3. Tombol-Tombol Fisik di Dashboard yang Lebih Intuitif

Mobil murah masih banyak menggunakan tombol fisik untuk pengaturan radio, AC, lampu hazard, dan pengatur kaca spion. Meski terlihat kuno, tombol-tombol ini memberi pengalaman berkendara yang lebih aman dan intuitif. Pengemudi tidak perlu mengalihkan pandangan dari jalan hanya untuk menyalakan lampu kabin atau mengecilkan volume musik. Di sisi lain, mobil mewah dengan layar sentuh sering kali membuat pengemudi kesulitan menavigasi menu saat berkendara.

4. Ban Serep Full Size yang Masih Disediakan Secara Standar

Ban serep di mobil mewah sering kali hanya berukuran kecil atau digantikan oleh kit tambal ban. Tapi, ketika melintasi daerah terpencil, keberadaan ban serep full size jauh lebih berguna. Mobil murah, terutama city car atau MPV sederhana, masih banyak menyediakan ban serep berukuran sama dengan ban utama, sehingga pengemudi bisa langsung melanjutkan perjalanan tanpa batas kecepatan.

5. Ground Clearance Tinggi Walau Bodi Kompak

Banyak mobil murah memiliki ground clearance yang cukup tinggi meskipun bodinya kompak. Fitur ini sangat berguna di jalanan Indonesia yang sering berlubang atau genangan air. Mobil mewah sering kali terlalu pendek karena mengejar aerodinamika dan estetika, sehingga sulit melewati jalan rusak atau polisi tidur besar.

6. Interior yang Mudah Dibersihkan Tanpa Bahan Mahal

Mobil mahal sering menggunakan bahan interior premium seperti kulit atau suede yang rentan noda dan butuh pembersih khusus. Sebaliknya, mobil murah menggunakan bahan interior yang lebih tahan banting seperti plastik tebal atau jok kain sintetis. Interior mobil murah lebih mudah dirawat tanpa khawatir rusak, terutama bagi pengguna yang sering makan atau minum di dalam mobil.

7. Sistem Kunci dan Alarm Standar yang Jarang Error

Sistem keyless entry dan start-stop button di mobil mewah sering kali rentan error, terutama saat baterai habis atau gangguan sinyal. Sebaliknya, mobil murah yang masih menggunakan kunci konvensional justru lebih bisa diandalkan dalam situasi darurat. Sistem alarmnya pun biasanya sederhana tapi efektif untuk keamanan dasar.

Fitur-fitur pada mobil murah mungkin tidak terlihat mencolok, tapi dalam praktik sehari-hari, justru fitur sederhana inilah yang sering menjadi penyelamat. Mobil murah mungkin tidak memiliki teknologi tinggi, tapi punya kepraktisan yang grounded dan sesuai kebutuhan nyata pengguna jalan Indonesia. Kadang, kesederhanaan justru adalah bentuk tertinggi dari efisiensi.

Gawai Pengaruhi Otak Anak? Bahaya Tantrum dan Gangguan Kesehatan Mental

Perdebatan tentang Dampak Gawai pada Anak-Anak

Penggunaan gawai sering dikaitkan dengan masalah seperti depresi, tantrum, dan gangguan perilaku pada anak-anak. Namun, jika dilihat dari perspektif ilmiah, dampaknya mungkin tidak se sederhana yang terlihat. Sebagai contoh, saat sedang mengerjakan tugas rumah, saya memberikan iPad suami kepada anak bungsu agar dia bisa bermain. Namun, ketika saya memutuskan untuk menghentikannya, anak tersebut menunjukkan reaksi yang sangat ekstrem, termasuk menendang dan berteriak.

Anak-anak yang lebih besar juga mulai menjelajahi media sosial, gim daring, dan realitas virtual, yang membuat saya khawatir. Saya mendengar mereka saling mengejek tentang istilah “touch the grass”, yang berarti berhenti bermain gawai dan melakukan aktivitas di luar ruangan. Bahkan Steve Jobs, CEO Apple, tidak mengizinkan anak-anaknya memiliki iPad. Bill Gates juga pernah membatasi akses anak-anaknya terhadap teknologi.

Banyak orang percaya bahwa penggunaan gawai atau screen time berkaitan dengan peningkatan depresi remaja, masalah perilaku, dan kurang tidur. Ahli saraf Susan Greenfield bahkan menyatakan bahwa penggunaan internet dan permainan komputer dapat membahayakan otak remaja. Pada 2013, ia membandingkan efek negatif waktu layar dengan perubahan iklim, sebuah pergeseran signifikan yang tidak ditanggapi serius oleh masyarakat.

Namun, kini banyak orang mulai lebih memperhatikan hal ini. Namun, peringatan tentang sisi gelapnya mungkin tidak menceritakan keseluruhan cerita. Sebuah editorial di British Medical Journal berpendapat bahwa klaim Susan Greenfield tidak didasarkan pada penilaian ilmiah yang adil dan menyesatkan orang tua serta masyarakat luas.

Sejumlah ilmuwan Inggris lainnya mengklaim bahwa bukti ilmiah tentang dampak negatif penggunaan gawai masih kurang. Jadi, apakah kita salah dalam mengkhawatirkan anak-anak kita dan membatasi akses mereka ke tablet dan ponsel pintar? Apakah benar seburuk itu?

Pete Etchells, profesor psikologi di Bath Spa University, berpendapat bahwa bukti-bukti tersebut masih kurang. Ia telah menganalisis ratusan penelitian tentang waktu layar dan kesehatan mental, serta data tentang kebiasaan anak muda di depan layar. Dalam bukunya Unlocked: The Real Science of Screen Time, ia berpendapat bahwa ilmu di balik kesimpulan yang sensasional (menarik perhatian media) itu tidak konsisten dan, dalam banyak kasus, cacat.

Penelitian yang diterbitkan oleh American Psychology Association pada 2021 menunjukkan hasil yang serupa. Ke-14 penulisnya, yang berasal dari berbagai universitas di seluruh dunia, menganalisis 33 penelitian yang diterbitkan antara tahun 2015 dan 2019. Mereka menemukan bahwa menggunakan gawai, termasuk ponsel pintar, media sosial, dan gim video, memiliki pengaruh kecil dalam masalah kesehatan mental.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa cahaya biru, seperti yang dipancarkan oleh layar gawai, membuat penggunanya lebih sulit untuk tertidur karena menekan hormon melatonin. Namun, tinjauan terhadap 11 penelitian dari seluruh dunia pada tahun 2024 tidak menemukan bukti secara keseluruhan bahwa cahaya layar dalam satu jam sebelum tidur membuat lebih sulit untuk tertidur.

Masalah dengan Sains

Profesor Etchells menyebutkan bahwa salah satu masalah besar adalah sebagian besar data mengenai penggunaan gawai sangat bergantung pada laporan mandiri. Dengan kata lain, para peneliti hanya bertanya kepada anak muda berapa lama waktu yang mereka habiskan di depan layar gawai dan bagaimana perasaan mereka setelahnya. Ia juga berpendapat bahwa ada jutaan cara yang mungkin untuk menafsirkan data dalam jumlah besar ini.

Etchells mencontohkan adanya peningkatan yang signifikan secara statistik pada penjualan es krim dan gejala kanker kulit selama musim panas. Keduanya terkait dengan cuaca yang lebih hangat, tetapi tidak saling berhubungan: es krim tidak menyebabkan kanker kulit.

Etchells juga mengingat sebuah proyek penelitian yang terinspirasi oleh seorang dokter umum yang memperhatikan dua hal: pertama, mereka lebih banyak berbicara dengan anak muda tentang depresi dan kecemasan, dan kedua, banyak kaum muda menggunakan ponsel di ruang tunggu. “Jadi kami bekerja sama dengan dokter itu, dan kami bilang, ‘Oke, mari kita uji ini, kita bisa menggunakan data untuk mencoba memahami hubungan ini’,” jelasnya.

Meskipun keduanya memang berkorelasi, ada faktor tambahan yang signifikan: berapa banyak waktu yang dihabiskan sendirian oleh mereka yang mengalami depresi atau kecemasan. Pada akhirnya, studi tersebut menunjukkan bahwa kesepianlah yang menjadi pemicu masalah kesehatan mental mereka, bukan waktu menonton layar itu sendiri.

Konten Negatif atau Positif

“Kemudian, ada detail yang hilang tentang sifat waktu layar itu sendiri: istilah tersebut terlalu samar,” kata Profesor Etchells. Apakah menonton layar akan membuat bahagia dan membangkitkan semangat? Apakah bermanfaat? Informatif? Atau apakah itu doomscrolling atau mengonsumsi konten negatif? Apakah anak muda itu sendirian atau berinteraksi secara daring dengan teman-teman?

Setiap faktor tersebut menghasilkan pengalaman yang berbeda. Sebuah studi yang dilakukan para peneliti dari AS dan Inggris mengamati 11.500 pemindaian otak anak-anak berusia 9 hingga 12 tahun, beserta dengan penilaian kesehatan dan laporan penggunaan waktu layar mereka sendiri. Meskipun pola penggunaan gawai dikaitkan dengan perubahan cara area otak terhubung, penelitian tersebut tidak menemukan bukti bahwa penggunaan gawai terkait dengan kesehatan mental yang buruk atau masalah kognitif, bahkan di antara mereka yang menggunakan gawai selama beberapa jam dalam sehari.

Penelitian yang berlangsung dari tahun 2016 hingga 2018 itu diawasi oleh Profesor Andrew Przybylski dari Universitas Oxford, yang telah mempelajari dampak gim video dan media sosial terhadap kesehatan mental. Penelitiannya yang telah melalui tinjauan sejawat menunjukkan bahwa keduanya, sebenarnya, dapat meningkatkan kesejahteraan alih-alih merusaknya.

“Jika Anda berpikir bahwa layar memang mengubah otak menjadi lebih buruk, Anda akan melihat sinyal itu dalam kumpulan data besar seperti itu,” kata Profesor Etchells. “Namun, sinyal itu tidak terlihat. Jadi gagasan bahwa layar mengubah otak menjadi buruk secara konsisten atau permanen, sepertinya tidak demikian,” sambungnya.

Formula yang Buruk untuk Kesehatan Mental

Baik Profesor Przybylski maupun Profesor Etchells tidak membantah ancaman serius dari bahaya daring tertentu, seperti pelecehan anak dan paparan konten eksplisit atau berbahaya. Namun, keduanya berpendapat bahwa perdebatan saat ini seputar penggunaan gawai berisiko mendorongnya semakin tersembunyi.

Przybylski khawatir dengan argumen yang mendukung pembatasan atau bahkan pelarangan perangkat. Ia meyakini bahwa semakin ketat penggunaan gawai diawasi, semakin besar kemungkinan hal itu menjadi buah terlarang. Banyak yang tidak setuju. Kelompok kampanye Inggris, Smartphone Free Childhood, mengatakan bahwa 150.000 orang sejauh ini telah menandatangani pakta untuk melarang ponsel pintar bagi anak di bawah usia 14 tahun dan menunda akses ke media sosial hingga usia 16 tahun.

Jean Twenge, profesor psikologi dari San Diego State University, mulai meneliti peningkatan angka depresi di kalangan remaja AS, ia tidak bermaksud membuktikan bahwa media sosial dan ponsel pintar itu mengerikan. Namun, ia menemukan bahwa keduanya adalah satu-satunya faktor penyebab umum. Saat ini, ia meyakini bahwa memisahkan anak-anak dari gawai adalah keputusan yang tepat, dan mendesak orang tua untuk menjauhkan anak-anak dari ponsel pintar selama mungkin.

“Otak anak-anak lebih berkembang dan lebih matang pada usia 16 tahun. Dan lingkungan sosial di sekolah serta kelompok pertemanan jauh lebih stabil pada usia 16 tahun daripada saat berusia 12 tahun,” ujarnya.

Penghakiman di Antara Orang Tua

Saat saya dan Profesor Etchells berbicara, kami melakukannya melalui obrolan video. Salah satu anaknya dan anjingnya keluar masuk ruangan. Saya bertanya apakah gawai benar-benar “mengubah” otak anak-anak, dan ia tertawa, menjelaskan bahwa segala sesuatu mengubah otak: begitulah cara manusia belajar. Namun, ia juga sangat memahami kekhawatiran orang tua mengenai potensi bahaya gawai.

Hal yang tidak membantu orang tua adalah sedikitnya panduan yang jelas dan bahwa topik ini penuh dengan bias dan penghakiman. Jenny Radesky, dokter anak di University of Michigan, menyimpulkan hal ini saat ia berbicara di Dana Foundation, sebuah yayasan filantropi.

“Ada wacana yang semakin menghakimi di kalangan orang tua. Begitu banyak hal yang dibicarakan orang-orang tampaknya lebih memicu rasa bersalah orang tua daripada menjelaskan apa yang bisa disampaikan oleh penelitian. Dan itu adalah masalah nyata,” jelasnya.

Kalau dipikir-pikir, amukan anak bungsu saya karena iPad saat itu, membuat saya khawatir. Namun setelah dipikir-pikir, saya pernah melihat hal serupa yang tidak berhubungan dengan gawai: seperti saat anak saya bermain petak umpet dengan saudara-saudaranya dan tidak mau bersiap tidur.

Penggunaan gawai juga sering menjadi topik pembicaraan saya dengan orang tua lain. Sebagian dari kami lebih ketat daripada yang lain. Saran resmi saat ini tidak konsisten. Baik Akademi Pediatri Amerika Serikat maupun Royal College of Paediatrics and Child Health di Inggris tidak merekomendasikan batasan waktu khusus untuk anak-anak. Sementara itu, WHO menyarankan agar anak di bawah usia satu tahun tidak menggunakan gawai sama sekali, dan tidak lebih dari satu jam per hari untuk anak di bawah empat tahun (meskipun jika Anda membaca kebijakannya, hal ini bertujuan untuk memprioritaskan aktivitas fisik).

Ada masalah yang lebih besar di sini, yaitu kurangnya ilmu pengetahuan untuk membuat rekomendasi yang pasti, dan hal ini memecah belah komunitas ilmiah, meskipun ada dorongan sosial yang kuat untuk membatasi akses anak-anak. Dan tanpa pedoman yang pasti, apakah kita menciptakan arena yang tidak seimbang bagi anak-anak yang sudah melek teknologi saat dewasa, dan bagi mereka yang tidak dan bisa jadi lebih rentan karenanya?

Apa pun itu, risikonya besar. Jika penggunaan gawai benar-benar merusak anak-anak, mungkin butuh waktu bertahun-tahun sebelum ilmu pengetahuan mengejar dan membuktikannya. Atau jika pada akhirnya disimpulkan bahwa tidak ada dampak negatif dari menatap layar gawai, kita akan membuang energi dan uang, serta dalam prosesnya, mencoba menjauhkan anak-anak dari sesuatu yang juga bisa sangat berguna.

Sementara itu, dengan layar yang kini menjadi kacamata, media sosial berkumpul kembali di sekitar komunitas yang lebih kecil, dan orang-orang menggunakan chatbot AI untuk membantu pekerjaan rumah atau bahkan untuk terapi, teknologi yang sudah ada dalam hidup kita berkembang pesat, entah kita mengizinkan anak-anak kita mengaksesnya atau tidak.